Jumat, 27 Mei 2011

Novel:

BAGAIMANA?

Penulis
Ahmad Zamhari Hasan


persimpangan jalan

persimpangan jalan menghadang di depan pelupuk mata
melangkah ke barat, hati gelisah
melangkah ke timur, pikiran resah
melangkah ke selatan, nafsu bergelora
melangkah ke utara, badan merona
memilih tidak melangkah, menyalahi norma

dalam kebingungan
kaki melangkah menurut nurani
sesekali ke barat, menghasilkan karya
sesekali ke timur, melahirkan karsa
sesekali ke selatan, menciptakan ceria
sesekali ke utara, menghadirkan sejahtera
semua arah adalah ada dalam ada
menafikan salah satu sirna segala
masing-masing berjalan sesuai irama
melantunkan arti seribu satu

persimpangan jalan memiliki banyak makna
seperti kata yang mengalir memenuhi berbagai penafsiran
memenjaran pilihat ke salah satu arah
sama dengan memenjarakan kata dalam kamus
biarlah kata menunjukkan makna sendiri
seperti yang digagas presiden penyair
atau penjara-penjara kata kita musnahkan saja
hingga kata-kata berbicara tentang dirinya sendiri

hidup adalah menjalani pilihan-pilihan
tidak memilih mati dalam hidup
memutuskan satu pilihan menimbulkan kesempitan
memilih segala pilihan
sesuai kenyataan-kenyataan
seirama nuansa-nuansa
seiring fakta-fakta
menjalani hidup penuh makna

Wonosari, 14 Oktober 2004


DAFTAR ISI

Daftar Isi …………………………………………………….. i
Kata Pengantar Penulis ………………………………………. ii
Satu ………………………………………………………….… 1
Dua ………………………………………………………….… 4
Tiga ……………………………………………………………13
Empat …………………………………………………………19
Lima …………………………………………………………. 25
Enam …………………………………………………………..29
Tujuh …………………………………………………………..36
Delapan ………………………………………………………..40
Sembilan ……………………………………………………….43
Sepunluh ……………………………………………………….48
Sebelas ………………………………………………………….53
Dua belas ……………………………………………………….67
Tiga belas ……………………………………………………….70
Empat belas …………………………………………………….77
Lima belas ……………………………………………………..102
Enam belas …………………………………………………….110
Tujuh belas …………………………………………………….117

Kata Pengantar Penulis

Novel ini tidak hanya menyajikan cerita yang menarik dengan kisah tragis; Ainun gila dan Jefri menemani dalam kegilaan, penuh konflik; setiap bagian menawarkan konflik berbeda, ironi; orang gila menyatakan berbagai hal yang lebih jujur dari orang waras, surprise; ending cerita yang susah ditebak, heroistik; membangun desa lewat mushalla dan TPA menghidupkan kegiatan keagamaan masyarakat, penasaran; rencana yang dibuat Jefri untuk Ainun dan kegigihan sampai akhir menyembuhkan istrinya, Lucu; jebakan Wati, saat penembakan tanpa kata cinta dan jatuh ke sawah. Tapi juga menawarkan wacana baru penulisan novel, sebab saya berusaha mengkomunikasikan beberapa pandangan hidup; mulai Bakhtin tentang Dialog, Fauocolt tentang kegilaan, Nietsche tentang Zharathusta ketika ke pasar, Pemikiran Barat yang tidak mesti diambil hitam di atas putih, dan puisi orang gila.
Dalam beberapa hal, novel ini berusaha memberi pandangan baru dalam menghadapi orang gila dengan mengkritisi rumah sakit jiwa yang tak lebih sebagai penjara bagi orang-orang gila. Bahkan Faoucolt seorang pemikir postmodernis menganggap bahwa rumah sakit jiwa berupakan upaya untuk meniadakan orang-orang yang bersikap tidak sama dengan orang nomal.
Saya memberi judul; Bagaimana? sebab kisah cinta yang disajikan tidak biasa dan mengandung banyak pertanyaan tentang sikap para tokoh di dalamnya. Jawabannya tentu ada dalam novel tersebut.
Novel ini berbicara tentang seorang gadis cantik luar dalam bernama Ainun yang jatuh cinta pada pemuda berwajah biasa, berotak cerdas, baik hati, dan pecinta sejati bernama Jefri. Kedua tokoh utama dalam novel merupakan representasi dari para Bagaimana?. Mengapa demikian? Bagaimana kisa dua orang tersebut dalam menjalani hidup yang penuh ketidakpastian? Apa yang harus dilakukan menyikapi orang tidak waras? Jawaban lengkapnya tentu dengan membaca novel ini secara utuh.
Novel ini merupakan Ilham dari sahabat saya Samianto yang memiliki kisah cinta memilukan, dan digabung dengan ilham dari paman saya almarhum, seorang lelaki setengah baya yang kurang beruntung, paman saya setengah tidak waras akibat kegagalan membina rumah rangga. Gabungan antara kisah keduanya, diwarnai kanfas-kanfas imajinasi kreatif, dimaknai pengembaraan pikiran, dan diramu kecamuk perasaan, melahirkan novel ini. Semoga paman saya Raup bisa hidup bahagia di akhirat sana, sesuatu yang tidak dinikmatinya dalam kehidupan dunia.

Terima kasih pada semua pihak yang membantu atas terbitnya novel ini; kak Jubeir yang sering memberi kritik membangun, dik Jumladi yang kreatif, orang tua yang membantu dengan doa, guru yang memberi motivasi, dan semua pihak yang membantu terbitnya novel ini. Khusus pada penerbit, Andalah yang membuat novel ini menjadi bermanfaat dan dibaca banyak orang, semoga keberanian memunculkan penulis baru membawa kebangkitan dunia penulisan Indonesia yang mati suri.

Bondowoso, 18 Februari 2005



BAGAIMANA?
Penulis : Ahmad Zamhari Hasan
Satu
Dua jam Jefri menemani Ainun menyulam kain. Sesekali dia menatap kedua mata Ainun, sinar mata redup menyiratkan asa yang hilang. Beberapa kali dia mengajak bicara, dibalas tatapan hampa. Tatapan kosong, yang ingin menujukkan remuk segenap rasa, hancurnya akal ke dalam jurang terdalam, dan musnah jalinan cinta luhur, berganti sesuatu yang tak terungkap jelas dalam kata-kata. Suatu keadaan yang menggetirkan, yang dialami seorang gadis yang dianugrahi kecantikan lahiriah, memiliki pancaran kelembutan budi pekerti, dan kekayaan materi.
“Masih ingatkah kau padaku?” untuk kesekian kali dia melontarkan pertanyaan yang sama, Ainun tetap asyik menyulam. Dia ingin menjadi kain yang disulam, dirangkai dengan tangan-tangan halus, menjadi bentuk yang diinginkan. “Kita pernah bersatu, sayang.”
“Siapa kau?”
“Aku Jefri. Seseorang yang sangat kau cintai.” Ainun menatapnya tanpa berkedip dari ujung rambut sampai ujung kaki, dia merasa jengah juga.
“Orang asing,” dengan nada ketus.
“Tidak mungkin kau melupakan seseorang yang menyebabkanmu menjadi begini.”
“Oooh! Seperti itu Jefri, ya?” Ungkapan kata yang menusuk-nusuk hati, seperti ratusan jarum yang ditancamkan, berlumuran darah, dan sangat menyakitkan. Dia tertegun di kursi.
Tanpa mempedulikan dirinya, Ainun mengambil sajadah di pojok kamar, dia bergerak seperti orang sedang menunaikan shalat. Jefri memandangi tak berdaya, walau terbersit sederet tanda tanya, mengapa Ainun masih ingat shalat? Pertanyaan yang sulit mendapatkan jawaban pasti. Kini Tak ada yang bisa dilakukannya, selain secepatnya menyingkir dari hadapan gadis itu.
“Nak Jefri. Sudahlah!” tegur Pradibta, mama Ainun. “Aku tahu kau sangat mencintainya, tapi dia sudah tidak ingat apapun. Lupakanlah dia! Masa depanmu masih panjang.”
“Aku ingin...!”
“Apa yang kau lakukan lebih dari cukup,” potong Pradibta. “Kau tidak akan mampu menyadarkannya. Usahaku membawanya ke beberapa psikater, ahli jiwa, dokter, dan paranormal tidak membuahkan hasil. Bahkan sudah kubawa ke rumah sakit khusus di Singapura, tidak membuahkan hasil juga.”
“Ini semua salahku!” Jefri tak bisa menerima yang telah dilakukannya.
“Bukan, bukan salahmu. Mungkin dia ditakdirkan mengalaminya.” Tanpa terasa butiran air mata menetes di pipi. Alangkah buruk nasib anak semata wayang.
Pasrah pada nasib, senjata ampuh manusia dalam menghadapi permasalahan yang sulit diatasi, dan sebagai pelampiasan atas ketidakmampuan menangani masalah.
“Seandainya aku ti...”
“Aku mengetahui semuanya, dan aku memahami tindakanmu waktu itu. Walau awalnya kami sekeluarga sempat menyalahkanmu. Hal wajar, karena informasi yang diperoleh belum lengkap. Satu versi informasi dijadikan alasan pembenaran, sedang beberapa versi lain yang saling berkaitan dan mungkin secara lahiriah tidak berkaitan, namun bila diteliti ternyata berkaitan, tidak diperhatikan,” diam beberapa saat. “Sebaiknya kau pulang. Beberapa kali keluargamu menelpon kemari, mereka mencemaskanmu. Biarlah anakku seperti sekarang. Dia mulai menikmati dunianya.”
Jefri menatap kekasihnya sekali lagi, kemudian berpamitan pulang.
“Kau keterlaluan, beberapa kali ditelpon agar cepat pulang, malah tidak dijawab,” langsung disemprot bapaknya, setibanya di rumah.
“Aku menemani Ainun, Pak!” seru Jefri.
“Gadis itu sudah gila. Kenapa kau masih mengejar-ngejarnya?” bentak bapaknya.
“Dia gila karena aku.”
“Siapa bilang? Ah! Masa kau tidak mengerti. Sudah beberapa kali kukatakan bahwa dia gila bukan karenamu. Dia gila karena terlalu dalam menggunakan perasaannya, sedang akal sehat tidak digunakan.”
“Seratus kali, Bapak mengatakan itu.”
“Selama kau tidak mau mengerti akan kukatakan terus menerus. Oh ya, teman-temanmu dari Jakarta menelpon, kau harus secepatnya ke sana. Kau diminta menghadap dosen pembimbing untuk menyelesaikan skripsimu.”
“Aku tidak mempedulikannya lagi.”
“Apa kau bilang?” nada suara meninggi. “Aku capek-capek mencari uang untuk mengkuliahkanmu, kau bilang tidak ada artinya. Nanti kau....!” Hampir kedua tangan melayang ke muka Jefri, tertahan di udara, nafas terengah-engah.
“Jef, turuti saja apa yang dikatakan Bapakmu!” sahut ibunya, sambil menarik baju Jefri. Tubunya tertarik ke samping.
Dengan galau dia beranjak menuju kamar, membereskan pakaian, bersiap-siap berangkat. Mau tidak mau dia dipaksa menyelesaikan kuliahnya. Baru memikirkan langkah selanjutnya untuk Ainun, Cinta sejatinya, yang tak pernah tergeser wanita manapun di dunia.
Dalam perjalanan, imajinasi berputar-putar, terbang tinggi, menembus awan, dan menerobos tembok waktu. Peristiwa-peristiwa hadir berseliweran, membimbing pada masa-masa yang tak pernah bisa dilupakan.


Dua
Ainun seorang gadis yang cantik di kampus, rambut terurai melebihi bahu, mata indah seperti berlian, alis tebal, wajah bulat telur, dan mulut tipis, membuat setiap orang ingin memilikinya. Banyak yang berlomba melakukan pendekatan; mulai dari dosen, pengusaha muda, pegawai negeri, sampai bintang kampus, dengan hasil menggenaskan, ditolak mentah-mentah. Dia ingin mengkonsentrasikan diri belajar, itu alasan klise yang disampaikan.
Suatu hari dia tertarik menghadiri acara pengajian. Dia hadir agak terlambat, dan merasa takjub pada penyajinya, seorang lelaki yang berwajah biasa, usianya masih cukup muda, mungkin hanya lebih tua beberapa bulan. Pengetahuan agamanya sangat luas, semua orang terkagum-kagum.
“Pintar juga dia, ya?”
“Kau sih, makanya hadir dalam acara pengajian.”
“Aku penasaran pada pemuda itu. Masih muda sudah memiliki pengetahuan yang luar biasa, seperti seorang sarjana agama saja.”
“Naksir, ya?”
“Ah! Kau ada-ada saja. Penasaran disamakan dengan naksir. Kau tahu siapa aku, tidak akan berpacaran sampai kuliah selesai.”
“Kuyakin kau berubah pikiran. Pemuda itu sangat luar biasa, dia aktif mengisi pengajian di masjid-masjid, khotbah jum’at dimana-mana, melakukan beberapa kegiatan yang manfaatnya dirasakan masyarakat secara langsung. Berkat kejeniusannya, jalan-jalan di desanya di aspal semua. Bahkan dia sanggup mendatangkan Gubernur untuk meresmikan itu.”
“Dia kuliah dimana?”
“Belum kuliah.”
“Tidak mungkin.”
“Dia alumni salah satu Pesantren terbesar di pulau Madura. Sempat mengajar di sana dua tahun. Nanti katanya kuliah di UI.”
“Kau tahu banyak.”
“Aku temannya sejak kecil.”
“Pantas.” Dia bersemangat menghadiri pengajian, ingin mengetahui lebih jauh pemuda yang mampu menghadirkan degup jantung di dadanya. Niat awal sekedar ingin mengetahuinya, lama ke lamaan dia juga tertarik pada substansi yang disampaikan. Dia benar-benar tertarik dua hal; memperdalam Islam dan mengenal lebih dekat pemuda itu. Sayangnya sejauh ini mereka tidak sempat berbincang-bincang empat mata.
Sejak mengenalnya kesehariannya berubah; shalat lima waktu tidak pernah absen, pada malam sunyi menghampar sajadah menunaikan tahajjud, pagi hari melaksanakan Dhuha, puasa sunnah Senin Kamis dilaksanakan secara rutin, dan membaca buku-buku keislaman agar iman bertambah kuat.
Kehadiran Ainun dalam setiap pengajian, membuat sang pemuda yang tiada lain adalah Jefri, lebih bersemangat. Ainun benar-benar memikat, luar dalam. Cerita-cerita tentang kecantikannya sudah lama didengar. Ketika melihat langsung, jelas bahwa cerita itu memang benar adanya. Dia benar-benar cantik.
Pancaran kecantikan yang mengagungkan, menjadikannya tertarik sekaligus miris, bagaimana tidak miris, dia hanya terkenal pintar dalam masalah-masalah agama, dalam hal lain tidak bisa diandalkan. Dia tidak terlampau tampan meski manis kata orang-orang, bentuk tubuh standar, dan berasal dari keluarga sederhana. Tidak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya. Rasa miris inilah, yang membuatnya tidak pernah memiliki keberanian untuk berbincang-bincang, bahkan untuk menemuinya sekalipun dia tidak berani, keberaniannya ada saat mencuri-curi pandang dalam pengajian.
“Wati, boleh nggak aku ikut ke rumahmu?” Ainun meletakkan majalah di sampingnya.
“Untukmu apa yang tidak boleh? Kebetulan besok aku pulang, mumpung hari Sabtu ini libur. Tumben kau ingin ikut.”
“Jika nggak suka, aku tidak jadi, deh!”
“Jangan ngambek begitu, Nona. Aku curiga jangan-jangan tujuannya bukan rumahku,” wajahnya bersemu merah.
“Kau meledekku. Pokoknya aku ikut kamu besok.”
“Berdandan yang cantik, ya!” Wati langsung lari.
“Awas, kau!” Ainun berusaha melempar bantal, lemparannya meleset, Wati menghilang di balik pintu.
Kampung halaman Wati memang indah. Keindahan yang bertambah sempurna, mengingat dia akan berkunjung ke rumah seseorang yang mulai mengganggu bunga tidurnya. Seseorang yang membuat dirinya terkadang susah tidur. Seseorang yang menggoyahkan komitmennya untuk tidak pacaran sebelum kuliahnya selesai.
Perjalanan ke desa ditempuh satu jam menggunakan kendaraan pribadi. “Itu rumah Jefri! Pangeranmu,” tunjuk Wati.
“Kau, ini,” Ainun mencubitnya.
“Auuu! Jangan keras-keras. Kita langsung ke sana.”
“Tentu ke rumahmu dulu, dong. Aku ingin berkenalan dengan dua orang tuamu, sudah setahun kita bersahabat, belum mengenal mereka.”
“Mengenal kedua orang tuaku, atau mengetahui rumah calon pacarmu di sana!” sambil tersenyum simpul.
“Kucubit lagi,” tangan Ainun hendak mencubit, Wati menghindar.
Sore hari mereka mendatangi rumah Jefri. Debar jantung Ainun bergemuruh, sesuatu bergetar dalam jiwa, tatapan mata penuh cahaya, pori-pori tubuh seperti bergerak semua dan perasaan bergejolak hebat.
“Assalmu’alaikum!”
“Walaikum salam. Oh nak Wati. Silahkan masuk!”
“Jefri ada, Bu?”
“Dia masih mengajar di Madrasah, sebentar lagi pulang. Duduk saja dulu!” Mereka duduk di atas kursi. Mata Ainun menatap sekeliling, sebuah rumah gedung yang sederhana, tidak ada perabot rumah tangga yang mewah, tak ada lukisan Afandi atau Basuki Abdullah di dinding seperti di rumahnya, tak ada ruangan tamu besar seperti di rumahnya. Dengan tidak adanya itu semua, justru rumah ini menentramkan bagi siapapun yang masuk ke dalamnya.
Ibu Jefri menyuguhkan minuman, dia mempersilahkan mereka untuk meminumnya. Mereka meminum sedikit. Ibunya masuk kembali ke dalam.
“Jangan melamun terus, sebentar lagi datang.”
“Dia juga mengajar di madrasah.”
“Makanya kubilang padamu bahwa dia seorang pemuda yang luar biasa.”
“Kau memang benar,” dari kejauhan seorang pemuda memakai baju taqwa, celana, dan peci mulai kelihatan.
“Kau rupanya, Wati.” Mereka berdiri.
“Baru pulang, ya? Kenalkan ini temanku Ainun,” Jefri menjulurkan tangan, Ainun menyambut. Dua tangan bertemu, tak ingin dilepaskan. Dua pandangan bersatu, sama-sama menunduk malu. Dua debar jantung bergejolak, tak mengerti apa yang harus diperbuat.
“Jefri,” singkat sekali yang terungkap, padahal banyak yang ingin diuangkapkan.
“Ainun,” dia tetap menunduk malu.
“Huk huk huk!” Wati batuk-batuk, keduanya bergegas menarik tangan masing-masing. Ibunya muncul membawakan minuman dan makanan ringan.
“Kenapa masih berdiri?” Mereka tersadar, Wati tersenyum penuh makna, sedang Ainun dan Jefri duduk di kursi. Suasana hening, ibunya berjalan menuju dapur.
“Kau menikmati kesibukanmu?” Jefri mendongakkan wajah.
“Apa? Aku tidak mendengar perkataanmu tadi.”
“Ha ha ha!” Wati tertawa lepas melihat sikap Jefri yang nampak kelimpungan. “Aku bertanya, apa kau menikmati kesibukanmu?”
“Kesibukan bukan dinikmati, tapi dijalani.!”
“Singkat sekali jawabanmu. Kau biasanya panjang lebar menjawab pertanyaanku, sehingga terkadang membuatku bosan,” Jefri semakin salah tingkah, Ainun menunduk. “Katanya ingin mengenal Jefri. Kok diam saja mulai tadi.” Ainun menatap Wati, sikunya menyikut bahunya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Aku mau ke kamar kecil,” tanpa menunggu persetujuan mereka, dia melangkah ke kamar kecil, walau tidak tahu yang akan dilakukan sebab bukan itu tujuannya, dia ingin memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbincang-bincang. Dia hapal letak kamar mandi, sudah terbiasa berkunjung ke rumah Jefri.
Ainun ingin mencegah Wati, sayang tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia mempermainkan jari-jari kukunya, sedang Jefri sesekali mencuri pandang, mukanya tertunduk lagi. Ibunya yang diam-diam mengintip dari balik korden, beberapa kali mengomel dalam hati melihat kebodohan anaknya. Anaknya yang pintar berceramah, mempengaruhi orang lain, dan pintar berkomunikasi, kini seperti seorang anak kecil yang baru belajar berbicara, malah mungkin lebih baik anak kecil itu, sebab ada kata-kata yang terungkap. Sedang Jefri diam seribu bahasa.
Setelah menganggap cukup memberi waktu, Wati keluar dari kamar mandi. Dia kaget melihat suasana tetap hening, tak ada kata-kata yang terungkap dari mulut mereka. Keduanya seperti dua patung yang membisu, mulutnya jelas tak mampu merangkai kata.
“Kapan kau akan memberikan pengajian lagi?” Wati duduk di atas kursi.
“Mungkin seminggu lagi.”
“Jika ada waktu, mampir ke tempat kosku. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Baik, insya Allah!”
“Kami permisi dulu!” Wati berdiri, Ainun ikut berdiri seperti seekor itik yang mengikuti induknya. “Kami ingin berpamitan dengan kedua orang tuamu.”
“Pak, Bu! Mereka berpamitan pulang.” Kedua orang tuanya muncul dari balik korden.
“Sering-sering main ke sini. Maklumi anak kami yang tidak berpengalaman bergaul dengan wanita,” Jefri terperanjat, mungkinkah Ibunya melihat kebisuan mereka?
“Insya Allah. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam,” kedua sosok tubuh melangkah semakin jauh meninggalkan Jefri yang diomeli ibunya habis-habisan, karena tidak mampu memanfaatkan kesempatan berbincang-bincang dengan gadis cantik yang mempesona, dan menunjukkan sikap anggun di matanya.
Dalam lubuk hati masing-masing, meski tak sempat berbincang panjang lebar, ada sesuatu yang indah terbang tinggi ke angkasa, membawa angin lembut berlabuh di alam semesta. Mereka tak mempedulikan perkataan orang pada kediaman mereka, sebab mengungkapkan sesuatu tak mesti dengan kata-kata, hati masing-masing telah berbicara, menunjukkan hakekat kata yang diungkapkan, yang hanya dipahami mereka berdua.
Jefri berkunjung ke tempat kos Wati. Diam-diam Ainun mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuannya, penasaran terhadap maksud pertemuan tersebut. Wati merahasiakan apa yang akan dibicarakan. Dia bilang, ingin memberikan kejutan. Makanya dia disuruh datang setelah Jefri ada di ruang tamu tempat kosnya.
“Silahkan masuk, Jef!”
“Terima kasih. Sendirian?”
“Ainun ikut pengajian. Kau tidak melihatnya.”
“Aku melihatnya, eman tidak meluangkan waktu menatap gadis yang penuh pesona itu.”
“Kenapa di hadapannya kau seperti orang bisu?” sekilas mata Wati melihat seseorang mengintip pembicaraan mereka, dia tahu pasti sahabatnya. “Aku punya teman yang cantik sekali, mau kukenalkan?” Wati mulai memasuki rencana yang dibuat. Ainun merasa ada sesuatu yang menarik perhatiannya dari pembicaraan itu.
“Kau kayak tidak mengenal laki-laki, mana ada lelaki yang menolak berkenalan dengan gadis cantik?”
“Kupikir anak pesantren alergi pada wanita.”
“Sama saja, cuman bedanya mereka lebih mampu mengontrol diri. Apa gadis itu Ainun?”
“Bukan, dia malah lebih cantik darinya.”
“Bagiku dia paling cantik di dunia,” Jefri sangat yakin dengan perkataannya.
“Kecantikannya tidak seberapa, bila dibandingkan dengan temanku itu. Dia sekarang menjadi foto model, sebentar lagi menjadi artis terkenal. Pokoknya Ainun tidak ada apa-apanya, deh!” Sesuatu terbakar dalam jiwanya. Sebelumnya dia menganggap Wati merancang pertemuan dirinya dengan Jefri agar cinta mereka bersatu. Justru sebaliknya, dia menyakiti hatinya lewat perbandingannya dengan gadis lain, yang dianggap melebihi dirinya.
“Kau ngibul barangkali.”
“Tidak, aku berkata jujur. Kecantikannya seperti putri dalam dongeng.” Ainun tidak tahan lagi. Dia melangkah masuk.
“Apa aku tidak mengganggu?”
“Sebenarnya mengganggu,” Wati memancing emosinya. “Duduklah! Kalau ingin ikut nimbrung,” Ainun duduk sambil menahan luapan amarah. “Tunggu sebentar, ya! Aku akan memanggil gadis yang kumaksudkan tadi.” Tanpa mempedulikan mereka berdua, yang ingin mencegahnya pergi, Wati melangkah keluar. Kini tinggal mereka berdua.
Jefri menatap Ainun yang gelisah, kecantikan alaminya semakin tampak, dia membalas menatap. Mata pancaran kehidupan, yang memancarkan cahaya, membentuk beragam warna, menerangkan misteri yang tak tampak, dan mencoba mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi dalam batin.
“Kau percaya dengan yang dikatakannya?” Ainun tak dapat menahan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang menganggunya.
“Tidak!”
“Mengapa tidak menjelaskan padanya?” Jefri tetap diam. “Kutahu aku memang tidak terlalu cantik, tapi kecantikan hakiki tidak hanya dilihat lahiriah semata, kecantikan sejati berpancar dalam kemulyaan sikap, kepribadian yang baik, dan hati yang tulus dalam menyikapi segala sesuatu. Dalam aspek lahiriah mungkin aku kalah dengan gadis yang diceritakannya, tapi aku kecewa ternyata sahabat karibku, tidak memahami bahwa aku masih memiliki inner beuty yang mungkin tidak dimilikinya.”
“Aku setuju.”
“Kuyakin kau bisa membedakan antara keduanya, sebab kau seorang pemuda yang pintar. Mampu menangkap makna di balik makna dalam kata-kata hikmah yang penuh arti. Mampu mempengaruhi orang lain, dengan kelebihanmu yang kuanggap luar biasa, dimiliki seorang lelaki yang sebaya denganku. Padahal pengetahuan dan pengalamanku tidak seberapa di bandingmu.”
“Kau merendah.”
“Tidak aku mengatakan yang sebenarnya. Banyak teman-temaku di kampus yang penasaran padamu, khususnya pada sikapmuyang kelihatan enggan bergaul dengan wanita, padahal kau seorang yang lincah berkomunikasi dalam pengajian. Kontradiksi ini menimbulkan misteri tak terungkap, yang membuat setiap wanita ingin menyingkapnya.”
“Itu terlalu mengada-ada.”
“Maafkan aku! Mulai tadi aku yang nyerocos terus. Ayo dong gantian kamu yang ngomong.” Jefri menatap Ainun sesaat, kedua mata saling bertemu menunjukkan asa dalam hati, tapi mereka sama-sama menunduk menatap lantai yang seakan-akan bergerak-gerak, mengungkapkan berbagai bentuk imajinasi, yang tak mampu dia tuangkan dalam kata-kata. Sehingga mereka terdiam seribu bahasa.
Dalam hati masing-masing mereka berdua menggerutu Wati tidak muncul-muncul bersama gadis rekaan yang akan dihadirkan di antara mereka. Mereka belum menyadari sedang masuk dalam perangkap.
Tanpa sepengatuan mereka berdua, Wati dan teman-teman menunggu di ruang kos sebelah, mereka mendengarkan semua percakapan tadi, Dia telah memasang alat penyadap. Inilah bentuk kejutan yang dihadirkan, kejutan yang tidak akan dilupakan seumur hidup. Beberapa kali mereka menahan tawa.
Ruangan tempat Jefri dan Ainun sunyi senyap, keduanya tidak mengatakan apa-apa lagi. Ainun yang telah mampu menyetabilkan emosinya kembali pada karakter awal; pendiam dan anggun, sedang Jefri salah tingkah tak mampu merangkai kata-kata. Mereka yang mendengarkan mulai penasaran, tidak sabar, ingin segera mengakhiri kisah ini, namun Wati mencegah. Dia yakin sebentar lagi apa yang mereka inginkan akan tercapai.
Hampir satu jam kebisuan menyelimuti, mereka masih betah di tempat duduk masing-masing, sedang teman-teman di ruang sebelah nampak cuek. Mereka menyibukkan diri dengan membaca buku, bermain kartu dan tidur-tiduran.
“Kak Jefri kok masih diam. Apa tidak senang bercakap-cakap denganku?”
“Aku senang .....,” Jefri tak mampu melanjutkan kata-katanya.
“Katakan terus terang apa pendapatmu tentangku?” Ainun menunggu sambil berharap-harap cemas, secemas ruangan sebelah yang sama membisu menunggu saat-saat menegangkan yang telah mereka rancang, dengan sutradara Wati. Tidak mengerti apa happy ending atau sebaliknya.
Jefri menatap Ainun lekat-lekat, dia membalas. Kedua mata bertemu. Jefri menggerakkan tangan kanannya, menggenggam jemarinya. “Ba...ba..gai...mana?”
“Bagaimana apanya? Aku tidak mengerti.”
“Bagaimana?”
“Katakan terus terang, Jef!”
“Pokoknya, bagaimana?” Dia memastikan dalam genggaman tangan yang erat, dan tatapan sendu kedua mata yang menungkapkan maksud hati. Imajinasi Ainun bergerak cepat, memahami sinyal dari genggaman tangan dan tatapan mata. Dia mengerti apa yang dimaksud bagaimana.
“Benarkah?” Jefri menganggukkan kepala. Ainun bahagia sekali, masa-masa membosankan selama berjam-jam tiada terasa, berganti sesuatu yang penuh kebahagian dalam jiwa. Jefri berdiri mendekatinya, mereka berpelukan.
Untuk merangkai kata cinta yang tulus, tidak mesti mengungkapkan kata-kata yang bermacam-macam, yang terkadang menyimpan kepalsuan dan kebohongan. Sebuah kata singkat, yang mewakili keseluruhan perasan, merupakan ungkapan ketulusan hati, sudah cukup untuk menerjemahkan cinta.
“Saatnya sekarang,” Wati mengagetkan teman-teman yang terlalu asyik dengan kisah cinta unik ini. Mereka semua bergegas menuju ke ruangan sebelah, sambil membawa kue ulang tahun.
“Happy Birthday to you, happy berthday to you, happy berthday to youuu!” Kedua orang itu kaget, mereka melepaskan pelukan, Ainun ternganga tidak percaya. Melihat teman-temannya berkumpul semua.
“Kalian benar-benar jahat, terutama kau Wati,” dia mulai mengerti bahwa dirinya dikerjain mereka.
“Jahat apa bahagia? Sudahlah tiup lilinnya.”
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang. Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang, sekaraaang juga.” Ainun menatap Jefri, dia menganggukkan kepala. Secara bersamaan meniup lilin diiringi lagu ulang tahun. Ainun merasa memiliki dunia beserta seluruh isinya, sebab dalam ulang tahun yang ke 19 tahun, dia mendapatkan semua yang diinginkan, seorang lelaki yang menjadi impiannya, seorang sahabat yang baik hati, dan teman-teman yang mendukungnya. Dia merasa hari itu seperti terbang ke sorga, terasa indah, bahagia, tentram seluruh jiwa.
Ainun memejamkan kedua mata, Jefri mengecup keningnya dengan penuh perasaan. Walau kecupannya telah berakhir, Ainun masih terpejam, menikmati sesuatu yang tidak akan dilupakan seumur hidup.
“Kuenya dibagi-bagi, dulu!” Dia kaget, mukanya bersemu merah. Dia mengambil pisau, mengiris kue untuk kekasihnya, Wati sutradara yang hebat dalam kisah pendek ini, dan teman-teman lainnya yang turut mensukseskan. Mereka semua turut merasa senang, dalam kebahagian dua orang temannya.

Tiga
Masa berpacaran mereka dilalui dengan indahnya. Dalam menjalaninya tidak seperti yang dilakukan kebanyakan orang, yang menganggap pacaran adalah masa-masa menyenangkan yang dinikmati dengan pelampiasan nafsu sesaat yang melahirkan kebahagian semu. Sering kali berakhir dengan keputus-asaan, penyesalan, dan kesedihan yang tiada akhir. Keduanya berpacaran dalam pengertian yang lebih dalam, saling menggali perasaan masing-masing, saling tolong menolong, dan saling memahami. Ungkapan cintanya diwujudkan dalam genggaman tangan, menciup tangan atau paling jauh mengecup kening. Justru di sanalah keduanya sama-sama merasakan indahnya pacaran. Sampai sebuah badai berhembus.
Jefri sibuk dengan kegiatan sosial menjelang Idul Adha, kesibukan yang membuatnya kurang memberikan perhatian pada kekasihnya. Kebetulan dalam kepanitiaan, ada seorang gadis cantik berjilbab dan mondok di sebuah pesantren, mengisi waktu luang dengan menyibukkan diri dalam kepanitiaan. Jefri menjadi ketua, gadis bernama Fatimah itu menjadi sekretarisnya. Hubungan mereka akrab, sehingga menimbulkan kesalahpahaman di mata orang lain. Dia tidak menyadari hal itu.
Sewaktu meminta bantuan dana dari rumah-rumah orang yang mampu, mereka pergi berdua. Berhari-hari menjalankan tugas berduaan membuat angin berhembus kencang, menerbangkan kabar bahwa Jefri memiliki pacar baru.
Jefri dan Fatimah sedang menikmati makan di restoran, mereka tertawa gembira mengingat hasil yang diperoleh cukup memuaskan. Tanpa sengaja dari kejauhan Ainun menyaksikan itu secara langsung. Dia merasa tidak tahan, ketika melihat Fatimah dengan manja memukul bahu Jefri, dibalas tawa renyahnya. Dia yang berusaha tidak mempedulikan gosip-gosip yang berkembang, kini menyaksikan dengan kepala sendiri. Dia tak mampu menahan amarah di dada.
Dengan langkah yang dipaksakan, air mata memenuhi pelupuk mata, dia pergi ke hadapan mereka. “Selamat Fatimah! Selamat!” Ainun menyalami Fatimah, mereka berdua kaget, lalu melangkah pergi dengan tangis yang tak mampu ditahan lagi.
“Ainun!” Jefri berusaha mengejar, “Ainun, tunggu sebentar!” Ainun menyetop taksi dan pergi meninggalkannya yang berdiri termangu tak mampu mencegah. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada kekasihnya
“Ada apa, Jef?” tanya Fatimah.
“Entahlah! Aku tidak mengerti,” Jefri bingung.
“Dia pacarmu?”
“Ya,” sahutnya pendek. “Tadi dia mengatakan apa padamu?”
“Kalau tidak salah dia mengucapkan selamat padaku.”
“Apa maksudnya, ya?” Mereka terdiam sejenak. Jefri melangkah menuju mobil kijang milik Fatimah. Mereka menjalan mobil pelan, sedang pikiran mengelana tak tentu arah.
Jefri berusaha mencari-cari Ainun di kampusnya, tempat kos Wati, dan ke rumahnya. Dia tidak berhasil menemuinya. Ainun seperti di telan bumi, menghilang entah kemana. Padahal dia ingin menerangkan duduk persoalan yang sebenarnya. Dia ingin agar kesalahpahaman diakhiri. Dengan raibnya kekasih hati, dia tak mampu menyelasaikan masalah di antara mereka. Pada saat bersamaan dia harus segera ke Jakarta, sebab dia akan mendaftar ulang di UI karena dinyatakan lulus UMPTN.
“Gadis yang cantik, anggun, dan baik hati seperti Ainun, pasti mendapatkan lelaki yang seribu kali lebih baik dariku, dalam segala hal.” Keyakinan inilah yang membuatnya tetap berangkat ke Jakarta, tanpa membereskan permasalahan yang timbul di antara mereka. Dia terpaksa pergi dengan masalah yang membayangi di belakang.
Ainun yang baru pulang dari rumah neneknya di desa, terkejut mendengar Jefri berangkat ke Jakarta untuk kuliah di UI.
“Sebaiknya kau mengontak Jefri, sehingga mengetahui duduk persoalannya.” Dalam hati dia mengiyakan ucapan sahabatnya. Dia ingin mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, ingin mengetahui sejauh mana hubungan Jefri dengan Fatimah.
“Gengsi dong, dia yang membuat masalah, masa aku yang harus meminta penjelasan.”
“Kalau gengsi, kau tidak akan mampu memecahkan masalahmu.”
“Biar saja! Hubungan kami telah berakhir.”
“Segampang itu? Tidak mungkin. Aku mengenalmu luar dalam. Mustahil bagimu melupakan seorang lelaki yang telah menyatu dalam jiwamu. Kau tipe seorang gadis yang setia pada kekasih. Tidak bisa melupakan begitu saja.”
“Jika yang kucintai tidak setia, untuk apa tetap setia?”
“Apa kau bisa membuktikan tuduhanmu bahwa dia pacaran dengan Fatimah.”
“Aku melihat sendiri, mereka bergurau mesra, dan tertawa penuh kegembiraan.”
“Siapa tahu itu hanya ungkpan sebuah persahabatan, harus kau ketahui bahwa mereka sama-sama alumni pesantren, mungkin lebih mengerti dunia masing-masing, wajar sangat akrab sekali.”
“Mereka kelihatan seperti sepasang kekasih.”
“Terserah padamu. Kau lebih mengetahui langkah yang kau ambil.” Wati meninggalkan Ainun dalam kesendirian.
Diam-diam Ainun pergi ke rumah Fatimah, rasa penasaran di dada tidak tertahankan lagi. Sesampai di rumahnya, ternyata yang bersangkutan telah kembali ke pondok. Dia terjebak dalam kebingungan yang dibuatnya sendiri.
Ainun berusaha melupakan Jefri, yang dianggapnya berkhianat. Dia berusaha membakar semua kenangan tentangnya. Dia ingin menikmati kesendirian. Sayang dia tidak bisa, dalam lubuk hati dan imajinasi sosok Jefri masih kuat menyelimuti, apalagi belum mendengar langsung dari dari Fatimah menyangkut hubungan mereka yang sebenarnya.
Setahun berlalu, Jefri sibuk dengan kuliahnya, kesenangan membaca buku, dan menjadi aktivis di kampus. Kesibukan yang bermacam-macam membuatnya melupakan peristiwa masa lalu yang pernah hadir dalam kehidupannya.
Sedang Ainun baru berhasil menemui Fatimah yang telah keluar dari Pesantren. Dia segera menemuinya begitu tahu telah pulang ke rumahnya.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik.”
“Kau masih berhubungan dengan Jefri?”
“Tidak. Dia kuliah di Jakarta bukan? Aku di pesantren tidak mungkin berhubungan dengan laki-laki.”
“Kau dulu kelihatan mesra dengannya di restoran. Apa kalian benar-benar pacaran?”
“Jefri memang pemuda yang luar biasa, dia pintar berorganisasi, peduli pada orang miskin, cerdas dalam memahami sesuatu, dan seorang teman yang baik. Kekagumanku padanya sebatas seorang teman. Dia seorang teman yang baik.”
“Jadi ...!” Ainun berlari. Dia menyesali diri, mengutuk dirinya yang mengambil kesimpulan tanpa konfirmasi terlebih dahulu, dia tak mampu menahan perasaan galau di hati, mengingat semua tindakan yang dilakukan selama ini terhadap Jefri, kekasihnya yang tak mampu dilupakan.
Dia berusaha mencari-cari informasi tentang Jefri di Jakarta, ingin mengetahui nomer telepon, alamat, dan data lain yang diperlukan. Dia mendatangi Wati, namun dia telah kehilangan kontak dengannya. Dia berkunjung ke rumah keluarganya, mungkin yang diinginkan ada di sana.
“Maaf, Bu! Kedatanganku kemari ingin mengetahui alamat Jefri di Jakarta.”
“Untuk apa? Kalian kudengar sudah putus.”
“Itulah sebabnya aku ingin mengetahui alamat Jefri di Jakarta. Ingin menjelaskan kesalahpahaman antara kami.”
“Kami tidak mengetahui alamatnya. Jefri biasanya yang menelpon kemari kalau ada kebutuhan. Pengiriman uang langsung ditransfer lewat Bank.”
“Berarti dia memiliki bisa dihubungi lewat telpon. Berapa nomernya?” Ibu Jefri berpikir sejenak.
“Tempat kosnya tidak ada fasilitas telepon.”
“Atau keluarga di sini ada yang berhubungan lewat internet, barangkali.”
“Oh ya, aku ingat. Anakku yang nomer dua sering berhubungan dengannya lewat internet, entah alat apa lagi itu namanya. Nining kemari sebentar!” Seorang gadis muncul tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Bu?”
“Ini Nak Ainun, ingin mengetahui alamat atau cara berhubungan dengan kakakmu di Jakarta.”
“Maksudnya berhubungan lewat inetrnet dengan kakak. Kalau nggak salah emailnya Jefri-cintaku@plasa.com.” Ainun mencatat alamat emailnya. “Akhir-akhir ini dia sangat sibuk, jarang membalas emailku.”
“Itu tidak penting, paling penting aku mendapatkan emailnya. Aku permisi dulu, Bu. Terima kasih atas informasinya, Dik.” Dia pergi dengan sebuah harapan, kesalahpahaman di antara mereka bisa diselesaikan. Sesampainya di rumah dia segera meminta kedua orang tuanya menyambungkan komputer di kamarnya dengan internet.
Dengan kekayaan yang dimiliki segala keinginan dengan mudah dipenuhi, padahal di tempat lain banyak anak-anak yang menangis meronta-ronta, bertengkar dengan orang tuanya, malah harus bekerja keras sendiri untuk sekedar memenuhi sebuah keinginan yang sepele. Dunia ini senantiasa menghadirkan kontradiksi yang tidak pernah berakhir. Kontradiksi yang memenuhi kehidupan manusia sepanjang zaman.
Ketika tersambungkan, dia kesulitan cara berhubungan lewat internet. Beruntung dia mendengarkan di radio ada kursus internet sehari. Dia mengikutinya agar kesulitan bisa diatasi.
Email pertama disampaikan dalam bentuk puisi:
Hanya Untukmu Kak Jefri
Aku berjalan dalam kegelapan
Kedua mata tertutup rapat
Menyempurnakan kekelaman
Aku tak mampu melihat kebenaran
Dalam gelapnya malam masih ada bulan
Dalam gelapnya kedua mata masih ada hati nurani
Dalam gelapnya dunia masih ada matahari
Kegelapanku tanpa cahaya
Aku terhanyut dalam kegelapan slamanya
Maafkan bila dalam gelap
Aku tak mampu bersikap
Milikmu selamanya, Ainun Herawati.

Setiap waktu, dia menunggu balasan email dari Jefri, namun tidak dibalas juga. Dia menulis email lagi, dengan bahasa yang lebih jelas.

Buat Kak Jefri Tersayang
Maafkan aku, kak Jefri. Aku telah menghancurkan tali kasih yang kita bina dengan susah payah. Kau masih ingat hari jadi kita bukan? Hari yang tak terlupakan seumur hidupku. Aku ingin mengulangi masa-masa indah itu dari awal kembali bersamamu, walau jarak kita teramat jauh. Selama ini kita memahami masa pacaran, sebagai upaya penyatuan dua hati dalam satu komitmen yang sama, tak mempedulikan kebahagian semu sesaat yang hanya menghadirkan kesia-siaan.
Seseorang yang menyesali perbuatannya; Ainun Herawatimu slalu.

Dia menunggu balasan email, balasan yang ditunggu-tunggu tidak datang juga. Dia mengerti mungkin luka yang ditorehkan di hati Jefri tidak termaafkan, maka tidak boleh menyerah. Kembali menulis email. Ini bunyi email yang kesekian.

Kak Jefri Belahan hatiku


Aku tidak dapat menghitung ini sudah merupakan email ke berapa? Aku tidak akan berhenti menulis email kepadamu sebagai ungkapan maafku yang tak terkira, kau terima dengan lapang dada. Mungkin kau masih marah padaku. Tumpahkan kemarahanmu, maki-maki aku, hujat aku, lakukan apa yang pantas kau lakukan padaku, aku akan menerima. Tapi tolong balas emailku. Balasan surat darimu walau sepatah kata, sudah merupakan obat bagiku. Aku ibarat seseorang yang menderita penyakit kronis, yang membutuhkan obat segera, obat itu adalah sepatah kata darimu. Balaslah Emailku secepatnya, walau itu hanya berupa kata-kata, “Maaf Ainun, aku tidak memaafkanmu.”
Ainun, milkikmu Slamanya

Ratusan kali mengirim email, tidak terbalas sama sekali. Hari-hari berlalu dengan cepat, dia mulai bertambah kurus, makan tidak nyaman, tidur tidak nyenyak, dan belajar di kampus terbengkalai. Keluarganya mulai khawatir, tapi dia menyimpan masalahnya sendiri. Sedang kedua orang tua sibuk dengan urusan masing-masing. Dia tidak ingin orang lain mengetahui masalahnya, kecuali Wati.

Empat
Di Jakarta Jefri sibuk dengan aktivitasnya di kampus. Menginjak semester empat dia dipercaya menjadi salah seorang orator dalam berbagai aksi demo yang dirancang Presidum UI. Dia selalu berpartisipasi dalam berbagai aksi demonstrasi yang digelar, sehingga lupa membuka kembali emailnya.
Dalam sebuah demontrasi menentang kenaikan BBM di masyarakat, terjadi kerusuhan, ada provokator yang menyusup dan berhasil membuat keributan dengan aparat kepolisian, mahasiswa diserang dengan gas air mata, peluru karet, dan pentungan. Mereka berlarian, dia sibuk membantu teman-temannya yang jatuh. Sehingga memudahkan polisi menangkapnya. Dia meronta-ronta, tenaganya tidak kuasa melawan tiga orang polisi. Dia diangkut menuju truk, dibawa ke kantor polisi.
Jefri mendiami sebuah tahanan yang dihuni lima orang temannya, saat interogasi dilaksanakan secara terpisah. Dia ditemui seorang reserse yang nampak simpatik, ditunjukkan dari caranya berbicara.
“Kau merokok?”
“Tidak, terima kasih. Sudah lama aku berhenti merokok.”
“Bagus, kau cepat kaya kalau tidak merokok,” Jefri tersenyum. Dia merasa sedang berbincang-bincang bukan diinterograsi.
“Kau menonjol sekali dalam aksi demonstrasi yang berakhir rusuh itu. Kenapa begitu bersemangat?”
“Karena keyakinan yang diperjuangkan adalah kebenaran; kebenaran tentang jeritan rakyat yang terhimpit beban ekonomi akibat krisis ekonomi, apalagi diperparah dengan kebijakan menaikkan BBM yang berimbas pada kenaikan berbagai macam kebutuhan pokok masyarakat.”
“Apa benar karena idealismemu? Atau ada orang-orang tertentu yang ingin memanfaatkanmu.”
“Gerakan demonstrasi kami secara prinsip sekedar menginginkan diturunkannya harga berbagai kebutuhan pokok, namun pemerintah bersikap seperti patung tak berdosa. Tak memperhatikan aspirasi kami. Maka wajar bila gerakan ini berbalik menjadi gerakan ingin menurunkan pemerintah yang sah.”
“Tidak mudah mengganti pemerintahan di tengah jalan.”
“Memang tidak mudah, sebab....”
“Kalau tidak mudah, mengapa dipaksakan?” potongnya. “Kita harus ingat betapa berat beban yang ditanggung rakyat, besarnya penderitaan mereka bila terjadi chaos, gerakan mahasiswa seharusnya tetap dalam tuntutan semula. Perubahan rezim kekuasan belum tentu membawa kebaikaran pada seluruh rakyat, senyampang; sistem belum diperbaiki, para pelaku memikirkan diri sendiri, dan rakyat belum memiliki kesiapan untuk itu.
“Sebenarnya gerakan kami murni ingin membela rakyat, sayang pemerintah kurang peka. Padahal seandainya aspirasi menurunkan harga kebutuhan pokok direspon dengan baik sejak awal, tidak mungkin ada gerakan mahasiswa dan rakyat. Di sini timbul paradoks; satu sisi pemerintah yang menaikkan harga BBM yang merembet naiknya berbagai kebutuhan pokokok, di sisi lain para demonstran yang menuntut diturunkannya harga tersebut dituding ditunggangi pihak ketiga. Padahal logikanya tidak ada kenaikan harga kebutuhan pokok berarti tidak ada demonstrasi tentang itu. Demonstrasi hanya reaksi dari sebuah kebijakan. Jika dengan demonstrasi perubahan sebuah kebijakan bisa dilakukan, maka mahasiswa dan rakyat akan terus melakukannya. Sebenarnya kau yang harus mengingatkan atasanmu.” Tanpa terasa interogasi selesai dilakukan.
Pada hari kedua di penjara, interogasi dilakukan oleh orang yang berbeda. Perawakannya tinggi besar, kumis melintang, dan raut muka yang menimbulkan kesan menyeramkan.
“Temanku sudah melakukan interogasi secara baik-baik, kau malah menyembunyikan informasi darinya.”
“Aku mengatakan apa yang menurutku benar.”
“Aku tidak peduli kebenaran, yang kupedulikan hasil, kau harus mengatakan secara lengkap orang-orang yang berada di belakang aksi demonstrosi mahasiswa. Siapa saja mereka, dan apa agendanya?”
“Kenapa kalian selalu bersikap curiga?”
“Jawab pertanyaanku!” dengan nada suara meninggi. Jefri diam seribu bahasa. Ini bukan dialog seperti dalam bentuk pertama, sehingga dia merasa tidak perlu menjawab semua pertanyaannya yang penuh pemaksaan.
“Kenapa kau diam?” Jefri melihat-lihat lantai kamar, orang yang ada di hadapannya tidak dipedulikan sama sekali.
“Duaaar!” meja digebrak, Jefri kaget melihat padanya. “Jawab pertanyaanku, kalau tidak,” tangannya di angkat hendak memukulnya, tapi tertahan. Nafas turun naik, amarah yang tak terlampiaskan membuatnya kelimpungan.
“Kalau berani pukul aku?”
“Apa? Kau menantangku?” Dia menggenggam kerah kaosnya, dengan berani balik menatap matanya, tidak tersirat rasa takut dalam dirinya. Genggaman di kerah baju dilepaskan.
“Kau benar-benar kurang ajar. Huh sialan!” dia keluar dari ruang interogasi.
Jefri menatap kepergiannya dengan senyum dikulum, sebagai mahasiswa yang cerdas dia memahami, bahwa dalam bentuk dialog yang monolog, pemeriksaan tadi dia diuntungkan dan bisa menaklukkan seseorang yang berusaha memaksakan kehendaknya, karena dia memegang kartu truf. Seandainya aksi pemukulan terjadi, dia bisa menuntut balik.
Pada hari ketiga ditahan, orang yang menginterogasinya berbeda. Dari raut mukanya yang bersahaja, dia menunjukkan simpatik pada awal kemunculannya.
“Bagaimana keadaanmu hari ini?”
“Baik.”
“Apa kau menikmati berada dalam penjara?”
“Kau ini, orang yang di penjara tidak mungkin bisa menikmatinya.”
“Ada lho, orang yang bisa menikmati tinggal di penjara.”
“Siapa?”
“Tokoh dalam novel. Kalau nggak salah, dalam perang Nazi para tahanan di Jerman berusaha berimajinasi tentang sosok perempuan yang dianggap hadir di hadapannya, tentara Nazi tidak mampu mencuri kebebasan imajinasi para tahanan. Di sininlah mereka merasa menikmati tinggal di ruang tahanan.”
“Kehidupan tidak sama dengan alur novel.”
“Meski tidak sama, novel yang baik mampu mengungkapkan ungkapan yang tak terungkap, mengatakan yang tidak terkatakan, melahirkan bentuk-bentuk baru dalam ekspresi manusia, dan menempatan kebebasan berekspresi sebagai landasan utama. Kata kunci semua itu adalah imajinasi.”
“Menurutmu mana yang lebih unggul antara imajinasi dengan pemikiran?”
“Imajinasi adalah upaya manusia untuk menghadirkan berbagai citra dalam benaknya tentang hal-hal yang bermacam-camam, berbagai citra yang ada berusaha dieliminasi dalam suatu bentuk yang diinginkan. Begitu bentuk imajinasi berhasil disatukan, ide dalam otak manusia lahir, dan pemikiran berusaha mengeksplorasi sampai taraf maksimal, sehingga memunculkan pemikiran jenius manusia. Mana yang lebih unggul? Tidak ada yang lebih unggul, sebagai potensi manusia keduanya bisa dioptimalkan dan sama-sama memiliki keunggulan. Seorang manusia yang kreatif adalah yang mampu mensinergikan keduanya, dalam konteks yang berbeda-beda. Seorang novelis lebih menonjolkan imajinasi dalam proses penciptaan fiksinya, baru memanfaatkan pemikiran untuk menata struktur novel, melakukan editorial pada kesinambungan alur cerita, dan memerikasa bahasanya. Sedang seorang penulis ilmiah memanfaatkan imajinasi dalam permulaan memunculkan ide-ide brillian, dan lebih banyak bekerja dengan pemikirannya dalam bereksprimen atau menyusun karya ilmiah.”
“Kau tidak cocok jadi polisi, lebih cocok jadi penulis.”
“Ha ha ha,” mereka tertawa.
“Ngomong-ngomong, benar nggak aksi demonstrasi yang dilakukan murni kepedulian mahasiswa pada rakyat.”
“Kau mulai jadi polisi lagi rupanya,” dengan nada canda.
“Memenuhi tuntutan pekerjaan.”
“Jelas, gerakan kami murni.”
“Dari data-data intelejen yang kami punyai, ada beberapa orang yang berkepentingan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah, terlibat dalam aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa.”
“Mereka hanya memanfaatkan momen ini demi kepentingannya. Artinya aksi demosntrasi kami hakekatnya murni membela kepentingan rakyat. Ketika dalam kenyataan justru pemimpin yang ada hanya memikirkan kepentingan kelompoknya dan tidak mempedulikan rakyatnya, mau tidak mau, kami harus menuntut mereka untuk mundur. Pada waktu bersamaan orang-orang yang merasa kegiatan kami seiring dengan agenda politik mereka, berusaha untuk memanfaatkan situasi ini. Di sinilah mungkin yang menimbulkan asumsi gerakan mahasiswa ditunggangi pihak ketiga.”
“Oooh, begitu. Penjelasanmu masuk akal juga,”dia merenung. “Aku hampir lupa, kuharap agar kau melupakan kejadian kemarin.”
“Berhubung kau orang yang baik, berusaha mengerti keadaanku, dan mengajakku berdialog secara wajar, aku akan melupakannya.”
“Thank’s so much!” mereka berjabatan tangan. Lantas mereka terus berbincang-bincang tentang berbagai persoalan.
Interograsi dilakukan hampir selama empat jam menjadi tidak terasa, sebab dilakukan dalam bentuk dialog. Polisi berhasil mengorek keterangan, sedang Jefri bisa berkomunikasi dengan lancar tanpa ancaman. Di sinilah prinsip dialog yang menempatkan Aku, Kau, dan Dia dalam posisi sama seperti yang disampaikan Bakhtin menunujukkan kegunaannya. Dialog yang saling berbagi, mengisi, memberi, dan menerima secara sukarela, tanpa paksaan.
Memang interograsi hakekatnya bukan bentuk dialog yang ideal dalam teori Bakhtin, sebab dalam interograsi salah satu pihak dilemahkan. Tapi bila pelaku yang ada di dalamnya, khususnya pihak yang menginterogasi memahami bahwa dialog yang lancar membantunya menunaikan tugas dengan baik.
Seminar yang selama ini dianggap sebagai representasi dari dialog yang benar sebenarnya keliru adanya. Dalam seminar para pemakah dan moderator justru mendominasi arena dialog, sedang peserta bersikap pasif, diaolog tiga arah terjadi sekedar untuk menjawab pertanyaan bukan memperdebatkan sebuah pendapat. Mungkin diskusi dalam kelompok terbatas dengan peserta yang sejajar secara intelektual merupakan perwujudan dari dialog yang benar. Sebab semua berada dalam posisi sejajar saat membahas semua permasalahan, dan kemampuan intelektual untuk menanggapi berimbang.
Dialog akan berjalan dengan baik bila semua peserta dialog menjadi subyek yang aktif, responsif dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyampaikan ide-ide, argumentasi, dan informasi. Kedudukan yang sama antara Aku, Kau dan Dia yang merupakan perwujudan teori Bakhtin tentang dialog, baru mendapatkan tempat yang seharusnya. Bila tidak, dialog bukankah dialog yang hakiki.
Jefri dan teman-temannya ditahan selama tiga hari, sebab aksi yang meminta agar mereka segera dilepaskan semakin kuat. Pihak Rektorat ikut melakukan lobi, sehingga seluruh mahasiswa yang ditahan dikeluarkan. Berita dia ditahan sengaja tidak diberitahukan ke keluarganya di desa.
Tahanan tidak menghentikan sikap krititisnya, bahkan dia terlibat semakin jauh dalam organisasi kampus, dan memungkinkannnya mendapat kepercayaan yang lebih tinggi. Dalam setiap aksi demonstrasi dia berusaha berpartisipasi. Waktu-waktunya banyak tersita. Tiada hari tanpa demosntrasi.
Musim demonstrasi usai, dia sibuk menyiapkan ketertinggalan beberapa mata kuliah, menulis di media kampus, dan membaca di perpustakaan. Kesibukan-kesibukan yang bermacam-macam membuatnya lupa membuka emailnya.




Lima
Berbulan-bulan Ainun menunggu jawaban yang diinginkan lewat email, balasan tak kunjung tiba. Setiap menit, jam, dan hari, masa-masa penantian yang membosankan, email balasan dari Jefri tidak juga datang. Dia sering termenung sendiri, menyendiri di kamar. Tubuhnya yang gemulai tidak terawat, mulai memudarkan kecantikan yang dimiliki. Pernah suatu hari dia berjalan di lantai dua rumahnya, berjalan tanpa memikirkan apa yang ada dihadapannya, dia terjatuh ke taman, anehnya tidak merasakan sakit. Dia merasa terbang dengan perasaannya, sehingga tubuh tak lagi merasakan sakit.
Dia telah memanfaatkan fasilitas internet yakni chating. Justru lewat chating ini dia kewalahan mendapatkan teman-teman usil. Dia memutuskan untuk tidak memanfaatkannya. Apalagi jika ingin berbicara dengan orang yang diinginkan, kedua belah pihak harus saling berinteraksi atau sedang on-line bersamaan.
Sedang untuk pergi langsung menemui di Jakarta, dia khawatir akan diusir, dan diperlakukan yang tidak-tidak karena kesalahan yang telah dibuat. email saja tidak dibalas, bagaimana mungkin dia berani menemuinya. Dia tidak memiliki cukup keberanian untuk berhadapan langsung dengannya.
Hari itu tepat pada hari ulang tahunnya, dia menghidupkan komputer, melihat mail box di internet, siapa tahu sudah ada balasan. Berjam-jam menunggu tetap tidak ada jawaban. Teguran kedua orang tua yang ingin merayakan ulang tahun bersama, tidak dihiraukan. Dia asyik dengan internet, sedang pikirannya menerawang ke tempat lain.
“Ainun seluruh keluarga menunggumu untuk merayakan ulang tahun,” Ainun membalikkan badan menatap mamanya dengan nanar tanpa berkedip, membuatnya merasa ngeri. “Jika tidak ingin merayakan di luar, akan kupanggil mereka untuk merayakan di kamarmu.”
“Aku ingin sendiri, tahu!” suaranya menggelegar tinggi mengagetkan siapapun yang ada di rumah itu, mamanya keluar dari kamar dengan isak tangis. Sedang Ainun kembali menatap komputernya.
“Jefri demikian bersalahkah aku padamu, sehingga tiada maaf bagiku. Tuhan saja masih sudi memaafkan hambaNYA yang paling berdosa sekalipun, kenapa kau tidak sayang? Ha ha ha! Aku tahu mungkin kau sekarang asyik dengan pacarmu, asyik bercumbu mesra di Jakarta sana. Kau mencium seperti ini,” dia menciup komputernya lama sekali, seperti tak ingin dilepaskan.
“Lihatlah Papa! Tingkah anak kita sangat keterlaluan sekali.”
“Ainun!” suaranya sangat lembut sekali. “Lepaskan ciumanmu pada komputer itu,” berusaha menahan amarah. “Ainun lihat kemari!” bentak papanya, Ainun membalikkan badan.
“Kalian menggangguku,” dia melempar kursi ke arah papanya, dia berusaha menghindar, salah satu kakinya terkena lemparan, dia terjatuh. Saudaranya cepat membantu bangkit.
Ainun melemparkan apapun yang ada dihadapannya. Buku, kertas, disket, kardus, dan pakaian berterbangan. Dia mengamuk sejadi-jadinya, kedua orang tuanya terpaksa menutup pintu.
Ainun menatap komputernya, dia menarik mouse melemparkan ke monitor, tidak puas, kiyboard ditarik dilemparkan juga, monitarnya di banting ke lantai, CPO di angkat tinggi-tinggi, dilemparkan ke tembok. Dia menumbahkan seluruh emosinya, sampai rasa lelah datang. Dia duduk tersungkur memegang kedua lutut, pandangan mata kosong, debar jantung bergerak cepat, dan nafas turun naik. Dia menangis sesungukan.
Dalam duduk dia tertidur sesaat, bangun mendengar suara pintu dibuka. Lagi-lagi melihat orang-orang yang nampak asing di hadapannya, dia marah, dilemparkannya apa yang ada dihadapannya, pintu di tutup kembali. Karena tidak mampu menangani dia diserahkan ke rumah sakit jiwa.
“Ini semua gara-gara pacarnya, akan kubunuh dia kalau kutemukan.”
“Sabar, Pa! Kita harus selidiki masalahnya terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu.”
“Dia keterlaluan, Ma. Anakku sampai gila begini dibuatnya.”
“Kudengar mereka telah putus.”
“Pokoknya dia penyebabnya, aku ingin membunuh bajingan tengik itu.”
“Jika Papa ingin mengetahui masalah yang sebenarnya, aku akan memanggil Wati teman akrabnya,” Pradibta beranjak menuju telepon.
“Hallo! Bisa bicara denganWati?”
“Aku sendiri. Ada apa?”
“Aku Mamanya Ainun. Bisa tidak datang kemari?”
“Tentu bisa.Apa keperluannya, ya?”
“Datang saja, nanti kita bicarakan!”
“Baiklah! Aku segera datang,” dalam kurun waktu setengah jam, baru dia sampai. Kedua orang tua nya menyambutnya di ruang tamu.
“Langsung saja, anakku sekarang gila gara-gara bajingan Jefri.”
“Apa? Ainun gila. Tidak mungkin.” Dia berdiri hendak mencari sahabatnya.
“Ainun sudah ada di rumah sakit jiwa. Kau duduk saja, dan jawab pertanyaan kami.” Dengan lunglai dia duduk kembali.
“Setahuku, dia katanya ingin pindah kuliah. Kami jarang bertemu.” Wati seperti berbicara pada diri sendiri. genangan air mata memenuhi kedua pelupuk mata.
“Langsung jawab pertanyaanku!” papanya tidak sabar.
“Tenang, Pa! Wajar sebagai teman dekat dia masih kaget dengan nasib Ainun,” sahut mamanya. “Kalau kau tidak keberatan silahkan menjawab pertanyaan tadi.”
“Hubungan Ainun dan Jefri sudah putus dua tahun yang lalu, memang ketika mengetahui penyebab putusnya hubungan mereka karena kesalahannya, Ainun berusaha menghubungi Jefri. Alamat Jefri di Jakarta tidak ada, adiknya hanya berhubungan lewat internet.”
“Pantas dia ingin disambungkan internet ke kamarnya.”
“Dia berusaha menghubunginya, sedang kubaca di koran Jefri terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi di Jakarta, malah sempat ditahan tiga hari, mungkin karena kesibukan ini, membuatya tidak membuka-buka emailnya kembali. Padahal email yang ada di Plasa.com, tiga bulan tidak diaktifkan, otomatis dihapus. Jadi tidak membalasnya Jefri bukan akibat rasa benci dan dendam padanya, karena kesibukan dan alasan teknis tadi. Tidak bisa kita menyalahkan Jefri. Dia membela rakyat kecil, masih kita persalahkan dengan sesuatu yang tidak dilakukannya.”
Mereka diam seribu bahasa. Terbukalah pintu hati mereka bahwa ini bukan kesalahan Jefri. Mungkin garis Nasib anaknya memang demikian. Kehendak taqdir yang tak tersentuh menginginkannya, kekuatan yang tak bisa dilawan dengan keterbatasan manusia. Manusia hanya bisa berusaha, garis takdir yang akan membimbing pada hasil usahanya. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin menimpakan kesalahan pada Jefri.
Wati dan teman-teman sempat menjenguk sahabatnya di rumah sakit jiwa di Surabaya, dalam lubuk hati masing-masing timbul penyesalan, sebab mereka yang berusaha menyambung kisah kasih Jefri dan Ainun, berakhir dengan kegilaan. Suatu akhir absurd, yang tidak diinginkan siapapun di muka bumi.
Di rumah sakit jiwa Ainun dirawat dokter khusus untuk menanganinya. keluarganya yang kaya melakukan kontrak khusus dengannya, agar bisa memperoleh kesembuhan. Kesembuhan memang tidak kunjung datang walau telah dua tahun mendekam di sana. Tapi ada perubahan sikap, dia tidak mengamuk lagi, senang menyendiri di kamar sambil menyanyi lagu ulang tahun. Terkadang dia tergerak melaksanakan shalat. Dokter yang merawat bingung, orang gila kok ingat shalat? Padahal banyak orang waras di dunia yang mengaku Muslim, tapi tidak shalat. Dokter itu pun tersentuh untuk ikut rajin shalat, sebab selama ini paling malas melakukannya.
Perubahan sikap ini, membuat kedua orang tuanya berani mengajak pulang, dia ditempatkan di ruangan khusus, tempatnya dibentuk sedemikian rupa agar merasa nyaman, dokter yang merawat secara rutin seminggu sekali melakukan pemeriksaan. Suatu saat atas rekomendasi dokter, dia dibawa ke Singapura, tapi hasilnya tetap sama tidak mengalami perkembangan berarti. Dokter yang merawat sudah tidak rutin lagi, sebab hasilnya tetap tidak memuaskan.

Enam
“Hei bangun! Semua penumpang sedang makan malam.” Jefri kaget, dia tersadar dari lamunan panjang. “Kau ingin makan tidak?” Kondektur yang membangunkannya melangkah pergi, dia malas untuk keluar dari bus. Terbang bersama imajinasi, membuatnya merasa kenyang, tidak berselera lagi untuk makan, walau dari pagi perut belum diisi. Dia teringat Ainun yang mungkin tidak mampu menikmati kenikmatan makan, aku harus turut merasakan yang telah dia rasakan, ujarnya dalam hati.
Sesampai di Jakarta, dia berusaha konsentrasi menyelesaikan segala urusan, tapi dia tidak bisa konsentrasi. Pikiran kalut, citra-citra dalam imajinasi berantakan, rasa bersalah menghujam benaknya, dan penyesalan hadir menghiasi. Dia kebingungan. Dia susah tidur. Setiap hendak menulis skripsinya, tidak ada yang muncul untuk ditulis, yang nampak di hadapannya Ainun menari, berteriak, tertawa, menangis dan mengamuk. Diremasnya kertas-kertas yang ada di hadapannya.
“Kurang ajar!” teriaknya pada diri sendiri. Akhirnya dia mencari konpensasi dengan meminum minuman keras, yang hanya mampu membawanya melupakan segala peristiwa sesaat dalam kemabukan, ketika kesadaran timbul, kembali dia merasakan stress. Berhari-hari dia merasakan hal itu, sampai suatu saat tanpa sengaja dia melihat orang gila berjalan. Dia mengikuti jalannya, melihat tingkah lakunya, memperhatikannya dari kejauhan, sehingga timbul sebuah tekad untuk melakukan suatu niat tulus.
Jefri mulai bisa konsentrasi guna menyelesaikan skripsinya. Dia ingin secepatnya menyelesaikan kuliahnya, untuk memuluskan keseluruhan rencana yang telah diputuskan otaknya, dan ditangguhkan sementara di alam bawah sadar, untuk kemudian dilakukan nanti saat tiba waktunya.
Berkat kerja keras, dia berhasil menyelesaikan. Walau IP-nya tidak terlampau bagus dan skripsinya dinilai biasa, dia tidak peduli, paling penting dia secepatnya menyelesaikan kuliah bukan untuk dirinya, demi orang tua yang membiayainya, biar tidak punya hutang.
Dia pulang bersama keluarga, setelah pelaksanaan wisuda, ada kebanggaan terpancar dari wajah-wajah mereka melihatnya menjadi sarjana filsafat di UI. Sejuta harapan bersemayam dalam pikiran mereka bahwa masa depan anaknya akan terang menderang. Padahal dalam hatinya, Jefri memiliki sesuatu yang lain. Kebanggaan mereka akan hilang jika mengetahui rencana yang disusun, yang sama sekali tidak berhubungan dengan gelar sarjananya. Biarlah dia sendiri yang merancang, mengetahui, dan melaksanakan rencana yang bersemayang dalam alam nirsadar.
“Boleh, aku masuk?”
“Kau Jefri. Kapan datang dari jakarta?”
“Kemarin. Bagaimana keadaannya?”
“Tidak ada perubahan, sama seperti dulu.”
“Aku ingin menemuinya.”
“Aku bukannya ingin melarang, lebih baik tidak usah. Kau baru lulus kuliah, lebih baik konsentrasi pada upaya mencari pekerjaan.”
“Aku menemuinya tidak hanya untuk hari ini saja, juga hari-hari selanjutnya.”
“Apa maksudmu?”
“Aku akan menemaninya dalam kegilaan, siapa tahu dia bisa mengingat sesuatu.”
“Banyak kegiatan yang bisa kau kerjakan daripada mengurus anakku. Kau seorang pemuda yang berbakat, pintar, dan pekerja keras. Kalau sekedar mengurus anakku yang gila itu tidak artinya. Lagian, usaha yang kami lakukan selama ini berakhir dengan kesia-sian.”
“Keputus-asaan lambang kelemahan manusia yang menyerah pada nasib tanpa daya. Manusia memiliki hak untuk menentukan garis hidupnya, walau dalam melihat hasil tinggal memasrahkan diri pada Tuhan. Ketika kita putus asa, hakekatnya kita menghancurkan salah satu bagian kemanusian kita. Maka aku memutuskan menemani Ainun melewati hari-hari yang menggetirkan. Ibu mengizinkan bukan?” Wanita itu diam beberapa saat, menatap Jefri untuk meyakinkan bahwa yang dilakukan merupakan ketulusan dari seseorang yang memiliki jiwa besar, menemani kekasihnya yang gila. Pantas anakku sangat mencintainya, di balik wajah yang biasa-biasa, tersembunyi kekuatan jiwa besar yang bersemayam.
“Ini keputusanmu sendiri, aku menghalangimu, malah kau bertambah ngotot. Datanglah kemari kapanpun kau suka. Anggap rumah ini sebagai rumahmu.”
“Terima kasih!”
“Aku yang harus berterima kasih padamu,” air mata haru menetes. “Semoga usahamu berhasil, setelah kami, dokter, dan perawat tak mampu menyembuhkannya.” Mamanya mengantarkannya ke ruangan Ainun, di pojok rumah. Dia membuka pintu, Jefri masuk ke dalam. Ainun menoleh, dia meraih bantal melemparkan pada Jefri, dia tetap tak bergeming. Guling dilemparkan, tetap tak bergeming. Kasur ditarik, tubuhnya yang kurus tak kuasa.
“Pergi kau!”
“Aku tidak akan pergi, sayang. Aku ingin menemanimu.”
“Lelaki tidak berguna enyah dari hadapanku,” dia mengusirnya.
“Apapun yang terjadi aku tetap menemanimu di sini, melalui waktu bersama-sama.”
“Ha ha ha! Awas, kupukul kau,” Ainun melangkah mendekati, memukul-mukul dadanya, dia tak bergeming. Dia mendorongnya keluar. Jefri memang tidak melawan, tubuhnya terdorong keluar. Ainun menutup pintu kembali.
“Sudah kubilang akan sia-sia. Bisa-bisa kau mendapat celaka darinya.”
“Tidak apa-apa, sepantasnya aku mendapatkan perlakukan itu.”
“Jef, percayalah! Kami tidak menyalahkanmu atas kegilaan putriku, kami mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya. Jadi kau jangan memaksakan diri untuk menemani putriku sampai sembuh, kau akan menyesal nanti.”
“Aku menyadari apa yang ingin kulakukan. Untuk hari ini cukup. Aku permisi pulang!”
“Makan dulu, sudah disiapkan Mbok Ijah di dapur.”
“Tidak, terima kasih. Perutku terasa kenyang. Aku datang lagi hari-hari selanjutnya.” Dengan gontai dia pulang ke rumahnya. Semalam suntuk tidak bisa tidur memikirkan cara yang tepat agar bisa menyembuhkannnya. Tanpa terasa alam nirsadar mengabarkan rencana awal yang diputuskan di Jakarta sebelumnya. Dia semakin membulatkan tekad, untuk melaksanakan rencana itu, apapun yang terjadinya dihadapi dengan tabah, namun semuanya tidak akan berhasil kalau tidak dia belum diterima kehadirannya oleh Ainun. Dia harus berusaha dietrima dulu, baru melaksanakan seluruh rencana.
Jefri membuka pintu perlahan-lahan, Ainun menyulam kain. Dia ingat pertemuan pertama dulu, dia berhasil menemani dua jam, sambil menyulam kain. Dia mencobanya kembali, siapa tahu hari ini tidak dilempar lagi.
“Sedang membuat apa?” Dia berdiri di sampingnya, Ainun mengangkat mukanya, menatap sekilas, menyulam kembali. Jefri duduk di lantai, dia menatap Ainun tanpa berkata-kata. Rambutnya berantakan, mukanya yang cantik mulai memudar, dan tubuhnya kurus sekali. Ada sesuatu yang nyeri di hati menyaksikannya. Dia berusaha menahan rasa nyeri itu.
Dia menatap kening itu, kening yang sangat indah, mengalirkan kegembiraan tiada tara ketika dia mengecupnya penuh gelora cinta, dulu pada hari ulang tahun. Peristiwa yang tidak terlupakan. Seandinya waktu yang berputar berhenti pada hari ulang tahun penuh kenangan Ainun saja, dia mungkin tidak akan gila, bisa merasakan kegembiraan bersama-sama. Sayangnya sang waktu tidak bisa diputar kembali.
Satu jam dia duduk memperhatikan Ainun yang sedang menyulam kain. Dia aysik dengan kain sulaman, seperti orang yang telah melupakan dunia sekitar, lupa pada kesibukan orang normal yang mengejar kepuasan sesaat, lupa pada lingkungan sekitar yang semakin porak poranda, lupa pada matahari, bulan, dan bintang yang menawarkan kehidupan keseharian, lupa pada ketergantungan manusia pada pekerjaan; dengan pekerjaan mereka hidup dan merasa mati ketika tidak mendapatkannya, lupa pada putaran waktu berjalan, sebab hari-hari dilalui di dalam kamar dengan kesendirian, dan lupa segalanya. Dia tidak mengerti apa yang diingat Ainun.
Seandainya bisa terbang bersama jiwanya, Jefri akan berusaha menyelami jiwa Ainun, lebur dalam alam ketidaksadaran, untuk mengetahui apa yang diketahui, untuk melihat apa yang dilihat, untuk mendengar apa yang didengar, untuk merasakan apa yang dirasa, untuk berpikir apa yang dipikir, untuk memahami apa yang dipahami. Sayang dia tidak mampu melakukan semua itu. Ketika kuliah dia tidak pernah diajarkan bagaimana menyelami orang gila, sebab di universitas hanya mempelajari apa yang dijangkau akal budi, mempelajari yang rasional sedang yang tidak rasional dianggap bukan pengetahuan, mempelajari orang normal hidup sedang yang tidak normal cukup dipenjara di rumah sakit jiwa, mempelajari bagaimana manusia mengeksploitasi potensi diri dengan menafikan yang lain, sedang yang tidak mampu masuk kategori abnormal tidak akan masuk hitungan.
Dalam suasana sunyi ini dia teringat Nietsche yang bercakap tentang Zarathusta –seorang tokoh yang bersikap tulus tanpa pamrih- yang pergi ke pasar, tempat orang-orang yang hanya memikirkan keuntungan semata. Dia mengatakan, “Tidak ada pengembala dengan satu yang digembalakan. Setiap orang menginginkan hal yang sama, semua orang adalah sama: siapa yang berpikir lain dengan sendirinya akan masuk rumah sakit gila.” Seseorang yang berbeda dengan orang kebanyakan dinyatakan gila. Ini karena persamaan dianggap satu-satunya identitas, sedang orang yang berbeda keliru dari logika umum, dianggap salah. Padahal kehidupan sehari-hari menawarkan perbedaan- perbedaan.
Pandangan Zarathusta merupakan pukulan telak terhadap sistem ekonomi kapitalis yang mencengkram dunia saat ini. Dunia yang memandang pasar sebagai kekuatan tak dapat ditolak sistem apapun, sehingga baik dan buruk yang diinginkan pasar harus dilaksanakan. Padahal pasar hanya melihat laba, keuntungan, efisisensi dan kesejahteraan orang-orang yang mampu memanfaatkan dengan baik. Sedang orang-orang pinggiran, dari negara miskin atau berkembang, masyarakat dunia akan ketiga, akan menjadi bulan-bulanan sistem yang tidak adil ini.
Pikiran Jefri yang ngelantur mencoba difokuskan pada masalah yang dihadapinya yakni keadaan Ainun yang benar-benar dalam keadaan gila. Ini memang berbeda konteks dengan inti pemikiran Nietsche. Bagaimana caranya konteks yang berbeda bisa disatukan?
Jefri berbikir lama, berusaha mencari ide yang bisa diselaraskan dengan kenyataan yang dihadapinya. Sedang imajinasi iktu mengelana dalam bayang-bayang yang tidak jelas dan kabur, namun lama kelamaan bayang-bayang dalam imaji mengerucut menjadi suatu citra yang jelas, sehingga dari sana memuncul sesuatu yang berarti yang bisa dilaksanakan dalam tindakan nyata.
Pintu pikiran dibuka kembali diselaraskan dengan citra imajinasi yang jelas. Baru sebuah tindakan yang benar bisa dilakukannya, dia bisa menyikapi kekasihnya sebagai Zarathusta yang pergi ke pasar, sedang dirinya menjadi Nietsche yang mampu melihat tokoh Zarathusta sebagai orang jenius yang memiliki pandangan yang berbeda dengan orang kebanyakan dalam menyikapi kehidupan. Dia tidak boleh menganggap kekasihnya orang gila, namun menganggapnya orang yang berbeda menyikapi kehidupan. Tidak mesti orang yang bersikap berbeda disebut gila.
“Aku mendapatkan inspirasi dari pandangan Nietsche itu. Aku harus bisa menyikapi kegilaannya dengan baik, sebagai langkah awal. Bukankah manusia hidup dengan pandangan hidupnya? Bila dia memandang kehidupan dengan baik, dia bisa bersikap postif. Sebaliknya bila kehidupan dipandang dari sudut keburukannya semata, dia akan bersikap negatif. Maka mulai saat ini aku harus memandang Ainun cintaku, sebagai orang yang memiliki pandangan berbeda dengan orang lain.” Dalam hati.
Tanpa mempedulikan dirinya, Ainun menghampar sajadah, dan melaksanakan shalat. Jefri tidak mengerti bagaimana mungkin, dia bisa melupakan segalanya, termasuk dirinya yang menyebabkan kegilaan, tapi tidak pernah melupakan shalat. Ini sebuah keanehan yang luar biasa, orang yang dicintai bisa dilupakan, shalat tetap diingat. Padahal dulu dia yang mengajarkan di pengajian tentang pentingnya shalat sebagai upaya berkomunikasi dengan Tuhan, dan upaya penetraman jiwa yang terlalu diforsir pada urusan-urusan pemenuhan nafsu semata. Wati pernah bercerita bahwa Ainun tidak hanya rajin shalat lima waktu, juga rajin shalat dhuha, tahajjud, dan puasa sunnah. Sesuatu yang semakin jarang ditemui dalam gadis postmodern yang mulai tidak berpegangan pada suatu nilai. Ingatan yang kuat pada shalat, karena hanya shalat yang menyatu dalam jiwanya, sedang cinta di antara mereka dilupakan walau menjadi penyebab ke ambang kegilaan, mungkin perasaan cinta hanya bersemayam dalam perasaan, sehingga ketika gila tetap bisa dilupakan. Sedang shalat sudah menyatu dalam dirinya.
Dia duduk kembali di atas kursi, asyik menyulam, seakan-akan dia sendirian di dalam kamar, kehadirannya tidak dianggap. Jefri mencoba membesarkan hati, proses ini pasti membutuhkan waktu lama, yang tidak diketahui batasnya. Dia harus meneguhkan tekad di dada, memperkuat keyakinan di hati, membulatkan pemikiran di otak, untuk meneruskan rencana yang dirancang.
Pembantu rumah tangga yang biasanya menaruh makanan di balik pintu, diberi kode untuk menyerahkan padanya. Dia menyerahkan sepiring nasi dengan penuh rasa takut seperti bertemu hantu. Jefri tersenyum, dia memberi kode untuk membawakan satu lagi untuknya.
“Waktunya makan,” dua piring tersedia untuk mereka berdua. Ainun menoleh, melihatnya menggenggam nasi, raut muka berubah. Dia berusaha bersikap setenang mungkin. Ainun tampak terkejut, melemparkan kain yang disulam, mengambil nasi di atas piring dan melemparkan padanya.
“Kau jangan merampas nasiku, setelah kau rampas kebahagianku.” Jefri terpanana, hampir emosinya terpancing, dia menahannya dengan memunculkan imajinasi Zarathusta di hadapannya.
“Aku memang merampasnya,” pancing Jefri.
“Pergiii!” diia berdiri, melemparinya dengan nasi, lauk pauk, dan piringnya. Dia lari tidak tahan juga.
“Hheh heh heh!” Nafasnya turun naik. Kembali mendapatkan teguran dari keluarga kekasihnya, karena kasihan. Dia bersikukuh pada rencana awal. Sebab dia mulai bisa menemaninya berjam-jam sambil menyulam kain. Ini perkembangan yang baik baginya. Mereka akhirnya membiarkan apapun yang akan dilakukannya.


Tujuh
“Kemana saja selama ini?” tegur bapaknya saat duduk santai di ruang tamu.
“Aku menemani Ainun.”
“Kau masih berhubungan dengan orang gila itu,” suaranya mulai meninggi. “Sudah kubilang kau bisa ikut gila kalau bersama orang gila.”
“Aku lebih mengetahui yang kukerjakan.”
“Bapak membiayaimu mahal sekali, seharusnya kau berpikir bagaimana cara mendapatkan pekerjaan. Dengan pekerjaan masa depanmu terjamin nanti, dan kau bisa membantu ekonomi keluarga yang semakin sulit ini.”
“Aku mengikuti perintah Bapak untuk menyelesaikan kuliah. Apa yang kulakukan masih kurang? Aku dewasa sekarang, tidak harus senantiasa mematuhi setiap perkataan Bapak.”
“Oooh! Kau merasa pintar sekarang. Sehingga tidak perlu bimbingan Bapakmu yang hanya lulusan SMP. Aku lebih banyak makan asam garam kehidupan daripada dirimu.”
“Sudahlah, Pak! Dia menemui Ainun sebentar, nanti dia pasti mencari pekerjaan.”
“Betul, walau tidak benar. Sebab aku menemuinya setiap hari.”
“Dia lebih beradap saat baru keluar Pesantren. Tabiatnya berubah 180 derajat, malah dia berani kurang ajar padaku. Huh!” Bapaknya melangkah ke dalam kamar. Ibunya memandang Jefri yang nampak cuek sambil minum air, ada kecemasan di sana.
“Aku sudah melamar ke beberapa perusahaan, belum ada yang diterima satupun. Jadi bukan karena menemui Ainun, kalau aku belum mendapatkan pekerjaan.”
Jefri melangkah menuju kamar, merebahkan tubuhnya. Pikirannya pusing tujuh keliling, padahal yang diketahui keluarganya belum utuh dari yang telah direncanakan. Dia tidak akan mengetahui bagaimana reaksinya jika mendengarkan semuanya. Dia perlu mematangkan kembali segala sesuatu agar keseluruhan rencana berhasil dilakukan. Melakukan sebuah kebaikan, pasti akan menghadapi berbagai aral melintal, tantangan dan kebaikan dua hal yang sama dalam tindakan.
Dalam krisis yang tak kunjung berakhir, mencari pekerjaan sama sulitnya dengan mencari jarum di tengah jerami, peluang mendapatkan sekitar 0,10%. Maka untuk mengatasi masalah ini, dia harus mencari paradigma baru dalam menjalani hidupnya.
Dalam imajinasi timbul berbagai citra tentang pekerjaan yang bisa ditempuh, misalnya bertani di sawah, berwiraswasta, membuat unit usaha kecil atau membuat usaha rental. Bertani di sawah sesuatu yang tidak mungkin, bukan karena alasan gengsi, melainkan fakta bahwa sawah yang dikelola bapaknya tinggal 400 meter persegi, dan hsilnya digunakan untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Untuk berwiraswasta dia tidak memiliki modal, apalagi membuat unit usaha, tentu membutuhkan modal yang besar.
Idealisme ingin mengajaknya mengawang di angkasa dengan menciptakan lapangan pekerjaan, ketika banyak hal pendukung yang merupakan kenyataan pragmatis tidak memungkinkan untuk itu. Dia harus menempuh alternatif berbeda.
Dia berjalan menelusuri pasar tradisional, mengelilingi satu stand ke stand lain sambil memikirkan apa yang bisa dilakukan. Kondisi pasar dalam keadaan biasa-biasa saja, tidak ramai dan tidak sepi. Sambil berjalan, dia memikirkan keputusan yang tepat berkaitan dengan pekerjaan yang hendak ditekuni. Suasana pasar sedikit berbeda dengan dulu; bau menyengat, sampah-sampah yang tak terurus, selokan yang tidak pernah dibersihkan dan bentuknya yang berantakan mulai berkurang. Sekarang pasar mulai teratur, kebersihan dijaga dengan adanya retribusi meski terkadang dibiarkan terbengkalai dan pedagang diatur tempatnya masing-masing. Meski lebih teratur, anehnya justru pasar bertambah sepi, bukan ramai. Mungkin karena jumlah pedagang bertambah menumpuk, sedang pembeli tetap.
Melihat kenyataan ini, niat untuk berdagang mulai berkurang. Apalagi dia belum memiliki modal yang memadai. Memang jika meminjam pada keluarga Ainun pasti dikasih, malah dia mendapatkan tawaran mengelola salah satu hotelnya, tapi dia ingin berusaha sendiri, tanpa bantuan orang lain. Untuk apa kuliah tinggi-tinggi di universitas paling terkenal di Indonesia?
“Haii, Parman. Apa kabar?” Jefri berjumpa dengan sahabat lama.
“Baik. Kamu gimana?”
“Sama.”
“Kau sudah dapat pekerjaan?”
“Belum. Aku kelimpungan mencari pekerjaan. Melamar ke berbagai perusahaan tidak satupun diterima, ingin berdagang secara mandiri banyak hal yang tidak mendukung, melamar menjadi pegawai negeri tidak punya uang kelulusan. Dari kabar burung yang kudengar, harus punya uang 35 juta. Gila ngga tuh.”
“Untuk menjadi pegawai negeri harus menyuap terlebih dahulu. Pantas mentalitas mereka bobrok. Mereka sudah diciptakan suasana korupsi yang subur pada upayanya menjadi, maka ketika jadi langkah yang diambil bagaimana caranya uang kembali. Konsekwensi logisnya korupsi semakin menggurita dan sulit diberantas. Memberantas korupsi sama saja dengan mencari pekerjaan, sama-sama susah minta ampun.”
“Kau ada-ada saja, teman.”
“Aku benar, bukan? Makanya sebagai orang-orang “kere” kita tidak mampu masuk ke “jaringan setan itu,” sehingga menjadi pegawai negeri bagi kita adalah mimpi di siang bolong. ”
“Untuk itu kita dituntut keadaan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, tapi apa ya?”
“Kau biasanya jenius masalah yang beginian, coba berpikir, dong!”
“Aku siang malam memikirkannya, justru jalan buntu yang ketemui. Setiap jalan keluar yang hendak ditempuh seperti menemui tembok penghalang yang sangat tebal. Sulit ditembus.”
“Apa perlu meminjam goyang Inul?”
“Nanti yang ditembus bukan tembok, malah .....”
“Ha ha ha.”
“Apa rencanamu ke depan?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Kita diajarkan untuk membuat perencanaan, agenda kegiatan, dan melaksanakan semua itu dalam tindakan nyata. Sementara kenyataan yang ada menelan semua itu mentah-mentah tanpa bekas. Apa hidup dalam zaman edan ini tanpa rencana dan tetek bengeknya?”
“Sepertinya yang penting, bagaimana caranya kita mampu bertahan dalam krisis.”
“Bertahan untuk sekedar hidup.”
“Mau apa lagi?”
“Aku masih ada keperluan, nanti kita berjumpa lagi.”
“Silahkan!” Parman melangkah pergi, meninggalkan Jefri. Dia pulang ke rumahnya.
“Sudah dapat pekerjaan?” serang bapaknya.
“Belum.”
“Kenalan Bapak di perusahaan asuransi menawarkan pekerjaan padamu. Gajinya cukup lumayan, bagaimana menurutmu?”
“Benarkah?”
“Apa pernah aku berbobong? Ini kartu namanya, kau datang besok untuk wawancara.”
“Terima kasih, Pak!” Dia mencium tangan bapaknya. Dia tidak tahu bahwa yang mengusahakan pekerjaan adalah papa Ainun, kalau dia sendiri yang mengatakan akan ditolak mentah-mentah. Maka dia menghubungi bapak Jefri, agar rencana itu berjalan mulus. Keluarga Ainun ingin membalas jasa atas perhatiannya pada anak mereka yang gila.
Wawancara yang dilakukan sekedar formalitas belaka. Jefri bisa langsung bekerja keesokan harinya. Mencari pekerjaan dengan usaha sendiri dalam era krisis, sama dengan mengharapkan memeluk rembulan di malam hari, yang ditemui kemustahilan. Dia dipaksa keadaan untuk menerima pekerjaan lewat jalur koneksi, meski tidak menyadarinya, padahal dia sangat membenci hal ini.

Delapan
Jefri membawa bekel, bermain di hadapannya. Ainun kelihatan tertarik, dia duduk di hadapannya. Dia mengambil bola bekel, dan mulai ikut bermain. Memainkan bekel sekehendak hati. Jefri mencoba berbicara dengan isyarat, ditunjuknya bola, jarinya diletakkan di dadanya. Diulangi dua kali, Ainun mulai meniru, diserahkannya bola bekel padanya.
Jefri mencoba menunjukkan cara bermain. Setelah satu putaran bola kembali diberikan padanya, dia gembira, mencoba bermain dengan cara yang ditunjukkan. Awalnya bisa bermain, lama kelamaan bermain sekehendak hatinya lagi. Dia memberi contoh kembali. Mereka menghabiskan waktu bermain bekel, tanpa terasa jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ditinggalkannya bekel di hadapan kekasihnya, dia asyik bermain.
“Ada yang ingin kubicarakan dengan kalian,” kedua orang tuanya duduk di atas sofa. Dia duduk di hadapannya.
“Masalah apa?” Papanya menyahut dulu.
“Semenjak bersamaku, dia mulai menunjukkan perkembangan yang berarti, tampaknya intensitas kedatanganku perlu ditambah. Sehingga apa yang diinginkan dokter, bahwa dia akan sembuh jika menganggap sosokku benar-benar nyata di hadapannya. Untuk sampai ke sana diperlukan kebersamaan yang lebih banyak, maka aku memutuskan untuk menikahinya.” Sesuatu yang direncanakan dulu, kini berusaha dilaksanakan dalam tindakan nyata.
“Apa?” Mereka berdua melongo tidak percaya. “Kau akan mengawini putriku?”
“Benar!” Jawaban pasti tanpa keraguan.
“Bagaimana mungkin kau bersedia kawin dengan orang gila?” Pradibta tidak percaya sama sekali. “Jangan bergurau, Jef!”
“Aku sungguh-sungguh. Sangat amat sungguh-sungguh. Sudah lama kupertimbangkan rencana ini. Baru sekarang disampaikan, sebab baru terakhir ini kehadiranku diterima dalam kehidupannya. Langkah awal menuju jenjang perkawinan yang diinginkan.”
“Kau jangan menjadi lilin, mampu menerangi dunia, tapi terbakar habis. Kau akan hancur Jef! Mungkin akan gagal menyembuhkan anakku. Kami sudah menganggap apa yang telah kau lakukan selama ini, lebih dari cukup. Itu perwujudan cinta suci yang sejati. Lebih agung dari cerita cinta Romeo and Juliet, sebab ketika kematian datang pada mereka, berakhir semua derita. Sedang kau mengalami berbagai macam penderitaan lahir dan batin, saat memutuskan menemani Ainun, kekasihmu yang gila.”
“Putri kalian mengajarkan padaku bahwa cintanya tanpa mengenal ambang batas. Padahal apalah artinya seorang Jefri. Begitu memutuskan menerima cintaku, dia benar-benar mencintai tanpa batas, memang kesalah pahaman menghancurkan semuanya. Namun itu tantangan yang wajar dalam kisah cinta. Begitu dia memahami hakekat dari kesalahpahaman cintanya semakin berkobar, semakin dalam, dan semakin tak mengenal batas. Dia berusaha mencurahkan seluruh perasaannya dalam berbagai email yang sayangnya tidak sempat kubaca, dan tidak sempat diperhatikan kalian karena kesibukan masing-masing. Dari sana akan kita pahami ambang batas mana cinta tulusnya. Untuk itu aku menyebutnya sebagai Bagaimana?.”
“Cinta sejati tanpa ambang batas ini, yang membawanya pada kegilaan suatu nasib buruk yang luar biasa menggetirkan, dialami seorang gadis yang memiliki segalanya; wajah cantik, penampilan anggun, kepribadian yang baik, dekat pada Allah, dan mempunyai orang tua kaya raya. Dia justru memilih pemuda biasa sepertiku. Sudah waktunya bagiku untuk menunjukkan bahwa cintaku padanya tanpa mengenal ambang batas. Biar antata aku dan Ainun sama-sama menjadi Bagaimana?. Itulah kenapa aku memutuskan menikahinya.”
“Sebenarnya kami sangat setuju niatmu mengawininya, itu kalau memikirkan nasib putri kami,” Pradibta terdiam beberapa saat, “Berdiri di sisimu, aku tidak setuju tindakanmu. Tidak mudah hidup bersama orang gila. Bersama sesama orang normal, sering kali sebuah perkawinan mengalami kegagalan, apalagi dengan orang gila.”
“Aku menganggap dia tidak gila, bagiku dia kuanggap menderita penyakit amnesia. Tugasku adalah mengingatkan apa yang terjadi, menunjukkan bahwa diriku benar-benar nyata di hadapanya.”
“Bagaimana dengan orang tuamu?”
“Tentu aku meminta izin mereka secara baik-baik, bila tidak disetujui aku tetap meminang putri kalian sendirian. Aku yang menjalani kehidupan bersamanya. Biarlah diriku sendiri yang memutuskan.”
“Kau pikir masak-masak, nanti jika sudah matang keputusannya datang lagi kemari. Apapun yang kau putuskan, terutama menggagalkan rencana itu, akan diterima dengan lapang dada.”
“Keputusanku sudah bulat. Aku pamit pulang dulu!”
“Kau memang seorang pecinta sejati yang agung,” Pradibta hanya mampu menitikkan air mata haru, untuk menunjukkan bahwa ucapan terima kasih tidak lagi cukup. Sebab apa yang dilakukan Jefri sangat luar biasa dan di luar jangkauan akal sehat; setiap akal sehat mengandung kepentingan subyek yang menggunakannya, dan Jefri berusaha menghilangkan segala kepentingan dalam tindakannya mencintai kekasih tanpa ambang batas.

Sembilan
Sore yang cerah, matahari bersinar terang, cahayanya membias di bumi. Jefri langsung pulang ke rumah selesai kerja, untuk menjelaskan rencana yang telah lama bersemayam di alam nirsadar. Rencana menyangkut masa depan yang tak pasti, yang ingin dijalani untuk menunjukkan ketulusan cintanya, dan menunjukkan bahwa cinta tak mengenal ambang batas.
“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”
“Tentang apa?”
“Pokoknya sangat penting!”
“Katakanlah! Mungkin kau memutuskan untuk berumah tangga?”
“Insting Ibu memang luar biasa. Aku memiliki pekerjaan kini, secara mental aku siap, meski belum memiliki rumah sendiri. Kuberanikan diri untuk memutuskan menikah dengan seorang gadis yang sangat kucintai.”
“Siapa gadis itu? Kau tidak pernah mengajaknya kemari.”
“Kalian pasti mengenalnya. Hhmmm!” Dia menarik nafas dalam-dalam. “Na…ma…nya, Ainun.”
“Duaaar!” Suara petir seperti menggelegar di rumahnya, kedua orang tuanya kaget setengah mati. “Kau ingin kawin dengan siapa?”
“Ainun,” tanpa keraguan.
“Bu, anakmu mulai gila rupanya. Mana akalmu, Jef?”
“Setiap keputusan tidak mesti menggunakan akal. Keputusan yang baik lahir dari pemanfaatan perasaan, imajinasi, dan hati.”
“Orang yang tidak menggunakan akalnya, berarti dia gila. Kau mau disebut orang gila dengan mengawininya. Pikir coba!” Ujung jari Bapaknya ditekan ke keningnya, Jefri berusaha tenang.
“Perkawinan merupakan sebuah lembaga perkawinan, bersatunya dua hati dan pikiran dalam satu rumah tangga, kau tidak mungkin mengawini Ainun, kalian tidak sepadan. Apa tidak ada gadis cantik lagi di dunia selain dirinya?”
“Kakak mungkin ingin hartanya. Dia anak orang kaya. Enak bisa mendapatkan harta berlimpah tanpa kerja keras,” adiknya ikut nimbrung, emosinya hampir terpancing, dia berusaha meredam, sebab percikan api bila ditambah kayu akan semakin membara, dalam keadaan demikian dia harus menjadi air yang mampu memadamkan api.
“Dia gila karena mencintaiku, akupun mencintainya lahir batin. Semenjak kudengar dia gila, aku sempat stress di Jakarta. Kuyakinkan hatiku bahwa aku benar-benar mencintainya tanpa ambang batas, tak peduli dia gila atau tidak. Untuk membuktikan bahwa aku menikahinya bukan karena harta yang melimpah, aku akan membuat surat perjanjian khusus. Aku ingin menjadi Bagaimana?.”
“Pokoknya kami melarang kau kawin dengannya. Jika ngotot, pergi saja dari rumah ini! Kau kuanggap mati bersama keputusanmu mengawininya.”
“Baiklah kalau itu keputusan Bapak, aku pergi. Maafkan aku!” Jefri melangkah menuju kamarnya. Isak tangis memenuhi seluruh isi rumah, ibunya sampai tak sadarkan diri. Dia sebenarnya tak tahan melihat semua itu, tapi keputusan sudah diambil dan tak mungkin dirubah kembali. Dia merasa keputusan yang diambil merupakan yang terbaik bagi jalan hidupnya, setiap resiko yang ditimbulkan harus dihadapi dengan lapang dada. Sang waktu yang membuktikan sebuah kuputasan benar atau salah. Banyak bukti di dunia bahwa sesuatu yang benar susah tampil kepermukaan, tapi ketika muncul tak seorangpun mampu membantahnya.
“Aku membulatkan tekad untuk mengawininya,” Jefri langsung ke rumah kekasihnya.
“Kau bisa menemaninya tanpa harus menikahinya, bukan?” sahut Pradibta.
“Aku tidak mungkin bersama seorang gadis dalam sebuah kamar, tanpa menikahinya. Kusadari bahwa keindahan hubungan intim tidak mungkin kunikmati, sebab bukan itu tujuannya. Aku tetap menikahinya, walau harus dibayar mahal; aku dianggap mati oleh Bapakku,” air mata yang tertahan, turun di pipinya. Pradibta mendatanginya, memeluk erat.
“Tumpahkan seluruh kesedihanmu, Jef! Kau jangan khawatir, anggap kami sebagai orang tuamu. Kau bahkan lebih dari seorang anak bagi kami, kau adalah perwujudan kasih sayang Tuhan yang menyatu dalam dirimu, menunjukkan kebesaran jiwa, dan cinta sejati yang akan dikenang sepanjang masa.”
“Kami menjamin seluruh kebutuhanmu. Jika perlu, kau tinggal pilih; kuhadiahkan perusahaan tekstil di Sidoarjo, mengelola pertokoan di Jember, mengurus perusahaan yang ada di Surabaya, atau mengurus hotel di kota ini. Terserah padamu!” papanya ikut nimbrung.
“Laki-laki tidak boleh cengeng!” ujarnya pada diri sendiri, dia mengusap air mata, Pradibta melepaskan pelukannya. “Maaf! Aku menikahinya karena cinta tulus tanpa ambang batas. Tolong jangan kaitkan dengan harta!”
“Apa yang kau terima sudah merupakan hakmu. Seandainya kau tolak, kami tidak tahu, apa yang harus diperbuat padamu.”
“Kalian cukup mengawinkan kami secepatnya. Tidak perlu banyak yang hadir, cukup kalian berdua, pembantu rumah tangga, dan Wati sebagai saksiku. Perkawinan dianggap sah.”
“Apapun yang kau inginkan, kami turuti.” Seperti yang disepakati, tepat hari Jum’at, perkawinan mereka dilangsungkan.
Awalnya penghulu tidak bersedia menikahkan, karena pihak perempuan tidak memenuhi syarat; dia tidak waras. Persyaratan orang yang menikah harus sama-sama waras. Melihat amplop tebal yang diselibkan di saku bajunya, dia menyetujui juga.
Permasalahannya tidak sampai di situ, penghulu kebingungan dan merasa takut melihat Ainun. Jefri mengakali dengan menyuruh penghulu dan yang lain berdiri di dekat pintu. Kedua pengantin duduk di ranjang, saat itu Ainun disibukkan menyulam kain, tidak mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Jefri duduk di sampingnya menggunakan pakaian rapi, tanpa jas.
“Jefri! Apa kau benar-benar ingin menikahi Ainun?”
“Benar sekali.”
“Tanpa paksaan, merupakan keinginan pribadi.”
“Benar!” Sahut Jefri. Akad nikah dilangsungkan tanpa halangan yang berarti. Hanya terasa unik, dimana dua mempelai duduk tidak beraturan, pengantin wanita sibuk menyulam kawin tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Sedang pengantin pria duduk tidak jauh darinya. Karena jarak jauh pelaksanaan akad nikah menggunakan suara yang keras.
“Kuterima nikahnya, Ainun Bin Hermawan, dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas sepuluh gram, tunai.”
Jefri memberi kode pada Ainun, dia mengangkat mukanya. Jefri memberi kode lagi agar mengangguk. Anehnya dia menuruti seperti mengiyakan prosesi perkawinan yang tiada duanya di dunia itu.
“Jef! Aku tidak tahu mesti mengucapkan selamat atau tidak,” sahut Wati. Prosesi perkawinan telah usai, Ainun tenggelam dengan dunianya.
“Tentu ucapan selamat. Aku akan berusaha sekuat tenaga memulihkan kesadarannya kembali.”
“Jef!” Panggil mamanya, dia memeluk erat tidak ingin dilepaskan. Tak ada kata-kata yang mampu mewakili perasaannya. Seorang pemuda yang pintar, memiliki bakat luar biasa, dan telah memiliki pekerjaan tetap, rela mengawini seorang wanita gila. Mereka telah menyiapkan hak-hak waris bagi Ainun dan Jefri, namun ditolahnya untuk menunjukkan ketulusan hati.
Pada malam pertama, Jefri memilih tidur di ranjang lain. Kebetulan kamar mereka yang luas memungkinkan dua ranjang. Jefri menemani Ainun sampai tertidur pulas, setelah istrinya tertidur, dia menuju ke tempat tidurnya sendiri, akhirnya bisa tidur juga. Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Karena lelah dia tertidur pulas.
Ketika bangun dia mencium suara bau yang menusuk hidung, ada tinja di dalam kamar. Dia mengambil kain, menutup hidungnya, dan mulai membersihkan.
Dengan berbagai cara dia berusaha menarangkan pada Ainun, bahwa buang air besar di kamar tidak boleh. Susah juga memberi penjelasan pada orang gila, satu-satunya cara adalah dengan memberikan contoh cara buang air besar. Contoh yang baru berhasil setelah puluhan kali diperlihatkan. Itupun terkadang dia buang air besar sembarangan lagi.
Terlalu menyibukkan diri dengan istrinya, membuatnya sering terlambat datang ke tempat kerja, terkadang membolos. Kalau datang, tidak konsentrasi pada pekerjaan. Setelah menerima teguran terus menerus, dia dipecat. Kembali sebuah tantangan menghadang di depan mata. Dia berjalan lunglai pulang ke rumah istrinya.
“Kau nampak lesu, Jef!” tegur mamanya.
“Aku dipecat, Ma.”
“Bagus itu. Kau tidak usah memusingkan pekerjaan, temani saja istrimu. Apapun kebutuhanmu kami penuhi, ini telah disepakati Papamu.”
“Aku tidak bisa menerima itu semua. Aku harus bekerja.”
“Kau bisa mengurus salah satu perusahaan Papamu, jika ingin bekerja. Mengapa mesti susah-susah?”


“Maaf, Ma! Aku terpaksa menolaknya. Sebab aku tidak ingin hidup dengan belas kasihan. Aku ingin mandiri.” Dia menghindari godaan mendapatkan pekerjaan dari mertuanya, meski merupakan haknya. Baginya dia tidak mempunyai hak apapun.
“Aku tahu, kau masih pusing dengan pemecatan itu. Istirahat sana!” mamanya mencoba bersikap bijak. “Tidak usah di kamarmu, istirahat saja di ruangan atas. Tenangkan dirimu.”
“Baiklah, Ma.”

Sepuluh
“Sampai sekarang istriku tidak mengalami perkembangan berarti,” ujar Jefri suatu hari. Mereka berkumpul di ruang tamu.
“Apa kau hendak menceraikan istrimu, atau ingin kawin lagi dengan sama-sama orang normal. Silahkan saja!”
“Bukan begitu maksudku. Sejak gila dia belum pernah melihat dunia luar, sesuatu yang penting baginya, agar tidak merasa bahwa dunia ini sempit. Aku mengusulkan agar kami pindah ke desa. Lingkungan desa; hamparan sawah yang membentang, udara segar tanpa polusi, dan suasana dalam masyarakat yang baik, lebih cocok untuknya. Siapa tahu dia bisa mendapatkan kesembuhan di sana.” Mereka berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau di rumah Ibuku? Dulu dia yang ingin mengajaknya ke sana, cuman kularang. Sebab jika tidak ada yang mengurus, kasihan dia yang sudah tua.”
“Susah mengajaknya pindah dalam keadaan begini.”
“Menurutku,” Jefri berpikir sejenak. “Kita beri dia obat tidur, ketika terlelap, baru dibawa ke rumah Nenek!”
“Usul yang bagus.” Papanya segera menelpon ibunya di desa, dia gembira mendengar kabar cucunya akan tinggal di sana, namun lebih gembira lagi ada seorang lelaki yang mencintainya, berkorban dengan menikahinya.
Pada malam hari, mereka bertiga tidak tidur. Baru pukul 23.30 dini hari Ainun tertidur, segera diangkut dengan mobil Baleno, kedua orang tuanya membawa mobil Mercedes Bens sendiri. Rencananya mobil itu akan digunakan untuk keperluan keluarga di desa. Diam-diam kedua orang tuanya telah mengatasnamakan mobil itu, atas nama Jefri. Dia tidak menyadari sewaktu diminta tanda tangan dulu.
Mereka tiba pagi buta, disambut nenek, seorang lelaki, dan seorang wanita setengah baya. Ainun dibawa ke ruangan yang telah disediakan. Dia masih pulas tidur, akibat pengaruh obat. Mereka menempati sebuah kamar luas, yang memungkinkan dua ranjang di dalam. Tidak ada barang-barang lain, yang dikhawatirkan akan membawa akibat yang tidak baik.
Ainun baru bangun pukul 08.00 WIB. Dia kaget melihat sinar matahari menerobos ke kamarnya, dia beringsut ke pojok ruangan yang gelap, Jefri yang masuk ke ruangan juga kaget melihat istrinya duduk tengkurap. Dia memperhatikan sekitar ruangan, kedua mata melihat cahaya menerobos ruangan, dia mengerti. Istrinya belum terbiasa dengan ruangan baru, maka dia menutup jendela, dan korden, ruangan menjadi remang-remang. Ainun masih kebingungan, dia mendekatinya.
Dia mengangkat bahu istrinya, ditepis keras, duduk kembali di tempat semula. Pikiran Jefri memikirkan langkah tepat yang harus diambil, dia keluar kamar mengambil kain sulaman yang belum selesai, jarum, dan benang, supaya istrinya memiliki kesibukan. Jefri meletakkan di hadapannya, segera diambil Ainun, dan mulai asyik menyulam. Jefri keluar mengambil sarapan pagi, nenek yang memperhatikan di balik pintu menggeleng-gelengkan kepala. Dia merasa tidak percaya, dalam era yang semakin tidak menentu ini, ada seorang lelaki rela menikah dan merawat dengan kasih sayang kekasihnya yang gila.
Dia meletakkan dua piring nasi di hadapan istrinya. “Sayang waktunya makan,” tidak dihiraukan.
Dia menarik sepiring nasi, mulai menyuap untuk dirinya sendiri, suara kunyahan sengaja dikeraskan. Ainun berhenti menyulam, meletakkan kain itu, dan mengambil piring di hadapannya. Setiap suapannya, dibalas suapan istrinya, dia menjadi gembira. Sarapan pagi habis dalam sekejap. Dia mengambil air di dalam gelas plastik –semua peralatan menggunakan plastik untuk melayaninya -, Ainun melakukan hal serupa. Begitu sarapan selesai, Ainun asyik dengan sulamannya.
“Jef! kau cukup melayani Ainun. Tidak usah memikirkan kerja, semuanya dijamin, apapun yang kau inginkan akan dituruti. Kalau ada keperluan bisa menyuruh suami istri itu, mereka pembantu setiaku,” nenek duduk di atas kursi dari rotan di halaman, dia duduk di sampingnya, menatap hamparan sawah membentang.
“Tidak bisa begitu. Aku sudah berkeluarga, aku harus mampu memberi nafkah pada istriku dengan hasil jerih payah sendiri. Maka aku meminta Nenek untuk memberikan pekerjaan padaku, setelah merawat istriku selesai.”
“Kenapa kau mau merepotkan diri?”
“Aku terbiasa hidup dengan kerja keras dan tanggung jawab. Jika aku enak-enak duduk tanpa bekerja, berarti menyalahi tanggung jawab, menjebakku dalam kemalasan yang berakibat buruk pada hari tuaku,” nenek semakin kagum.
“Turuti saja, Bu! Suruh dia merawat sawahmu yang luas. Ibu tinggal menerima laporan. Dia tidak akan mau kalau kita beri percuma. Aku sudah melakukannya di rumah, dia menolaknya mentah-mentah.”
“Benar Bu,” Pradipta mendukung. “Dia memang lelaki keras kepala, tapi kami sangat mencintainya lebih dari diri kami sendiri.”
“Aku bisa besar kepala jika dipuji. Bagiamana Nek, menerimaku bekerja di sini?” Nenek menatap dengan rasa haru.
“Apapun yang ingin kau kerjakan, kerjakanlah sesuka hatimu!” Jefri senang sekali bisa bekerja, sambil bernostalgia dengan masa kecil yang sibuk membantu kedua orang tua bekerja di sawah. Timbul kerinduan pada kedua orang tua yang telah mengusirnya, dia berusaha membuang setiap kerinduan, mengganti sebuah tekad untuk membuktikan pada mereka bahwa dirinya bisa menyembuhkan kekasihnya, dan membuktikan bahwa cinta sejatinya, akan mencapai apa yang diinginkan, walau dalam sudut hati yang lain keraguan kadang timbul.
Hari yang cerah, matahari menerangi bumi tanpa halangan awan yang biasa menggelantung di angkasa saat musim hujan. Kedua orang tuanya telah kembali ke Jember seminggu yang lalu, Jefri menghirup udara segar di pagi hari. Dia berolah raga ringan di depan rumah, ketika sudah berkeringat, dia melangkah menuju kamar Ainun, mendapati istrinya duduk menyendiri. Dia beranjak menuju jendela, membuka sedikit, untuk membiasakan istrinya dengan cahaya matahari yang telah lama tidak disasakannya. Dia sengaja berdiri di depan jendela, membiarkan sinar matahari membelai tubuhnya. Ainun berdiri, dan berjalan pelan-pelan mendekati. Dia berusaha tidak mempedulikan, untuk memancingnya menikmati sinar matahari, sebagai langkah awal sebelum di ajak keluar ruangan. Ainun mendorong tubuhnya, dia pura-pura jatuh. Ainun kaget menerima belaian sinar matahari, dia melangkah ke samping. Dia kembali berdiri, didorong istrinya, pura-pura jatuh, sekilas Ainun menerima belaian sinar matahari. Berulang-ulang kejadian itu, sampai Ainun merasa menerima belaian sebagai sesuatu yang dianggap biasa. Dia merasa latihan mengenal sinar matahari cukup untuk hari itu.
Seperti biasa mereka makan bersama di kamar. Saat sibuk dengan sulaman kain, dia meminta izin pada nenek untuk melakukan tugasnya di sawah.
Dia tidak hanya berusaha menjadi mandor mengawasi orang-orang yang sedang menanam padi, dia ikut menanam, mencoba menikmati kebersamaan dengan masyarakat desa, yang menganggap pekerjaan di sawah, sebagai satu-satunya mata pencaharian. Itupun sebagai buruh tani yang bekerja pada neneknya, tidak punya sawah sendiri.
Berbaurnya Jefri dengan para buruh tani, membuat mereka senang. Mereka bekerja lebih giat bersama seseorang yang mewakili tuan tanah yakni neneknya. Tanpa terasa siang menjelang. Jefri berpamitan pulang, menemani istrinya makan siang. Dia lebih merasa segar kini. Apalagi seusai mandi.
Biasanya selesai mandi, Ainun langsung menceburkan diri ke kamar mandi bersama pakaiannya. Ini pekerjaan mendebarkan bagi Jefri, saat membuka pakaian istrinya, dan mengganti dengan yang kering. Kadang timbul nafsu birahi, dia berusaha menahannya. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati bersenggama dengan istrinya yang gila. Maka ketika mengganti pakaian, bayangan-bayangan di otaknya diganti, dengan bayangan patung, sehingga nafsu itu surut dengan sendirinya.
Nenek masuk ke dalam kamar, mencoba mendekati mereka berdua. Ainun yang melihatnya, langsung menyuruh pergi. Jefri memberi kode agar dituruti. Nenek keluar dengan kecewa, dalam hati dia ingin agar perawatan itu dilaksanakan olehnya juga.
“Biar istriku bisa menerima kehadiran nenek. Saat sarapan pagi coba nenek makan di depan pintu dulu. Semakin mendekat, sampai dia merasa terbiasa. Baru Nenek bisa menemani saat menyulam, atau bermain bekel.”
“Usul yang bagus.” Nenek berusaha melakukan pendekatan, baru berhasil sebulan kemudian, sehingga yang bisa merawatnya sudah dua orang. Giliran Surti yang menjadi pembantu rumah tangga, mencoba melakukan pendekatan yang sama, baru berhasil dalam tiga minggu. Melihat perkembangan menggembirakan ini, Jefri membuat catatan setiap hari. Untuk melihat sejauh mana perawatan mereka bersama bisa membuahkan hasil yang diinginkan. Catatan yang dibuat cukup penting guna menentukan langkah apa yang diambil menghadapi berbagai situasi, sehingga hasil yang akan diperoleh sesuai harapan. Meski terkadang hasil sering tidak berkesesuaian dengan harapan.
Pada bulan ketiga Ainun terbiasa dengan jendela di buka, membiarkan sinar matahari menerobos kamar, dan membiarkan tubuhnya dibelai sinar matahari. Dia meniru suaminya saat menghirup udara pagi. Jefri bertambah senang, walau kesembuhannya belum nampak jelas.

Sebelas
Adzan magrib berkumandang samar, Jefri berjalan menuju mushalla, dia berniat menunaikan shalat berjamaah. Di sana dia melihat pemandangan yang menyedihkan, mushalla yang tak terawat baik, sawang-sawang memenuhi langit-langit mushalla, debu mengiasi setiap tempat, dan sebagian lantai rusak disana sini.
Dia melangkah menuju kamar mandi yang tak terurus, kran yang ada hanya satu yang berfungsi, yang lain rusak. Dalam hati, dia menggerutu bagaimana mungkin ini dibiarkan begini.
Dulu orang-orang terlalu sibuk beribadah saja setiap waktu dan melalaikan pekerjaannya. Situasi sekarang berbeda, orang-orang menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas sehari-hari. Putaran waktu 24 jam sehari dimanfaatkan secara efektif untuk kerja dan kerja, sehingga menghasilkan uang yang banyak. Kesibukan ini perlahan-perlahan membimbing masyarakat untuk melupakan ibadah spritual. Apalagi beberapa pemikiran univirsalis sekuler, mengesahkan praktek ini, dengan anggapan bahwa ibadah spritual hanya ilusi manusia belaka. Ibadah spritual merupakan permukaan ajaran agama, bukan salah satu inti ajaran agama. Orang-orang ramai-ramai mengikuti teori ini, bahkan sebagian masyarakat menganggapnya sebagai salah satu agama baru.
Zaman ini bukan berbicara tentang orang yang menyibukkan diri dengan ibadah, karena memang masjid bertambah banyak dan bagus-bagus yang mengisi sedikit, namun tentang perubahan kebiasaan masyarakat yang tidak lagi mempedulikan mushalla, tidak lagi mengindahkan ibadah, tidak ingin terikat pada norma, melainkan menginginkan manusia otonom, yang kalau perlu terbebas dari Tuhan. Kebebasan otonomi manusia yang tidak mengindahkan Tuhan, karena mereka mengklaim kekuatan yang dimiliki manusia sanggup melakukan apa saja di luar kendali Tuhan. Gaya kehidupan yang seperti inilah yang diingankan Barat untuk bisa diterapkan di seluruh dunia.
“Mas hendak melaksanakan shalat Magrib?” dia tersadar dari citra-citra yang hadir dalam imajinasi ketika mendapat teguran dari sampingnya.
“Ya.”
“Saya jarang melihatmu. Orang baru?”
“Tepat sekali. Saya baru sekitar tiga bulan di sini.”
“Bisa tidak memimpin shalat jama’ah?”
“Tentu bisa.”
“Kebetulan sekali. Di sini yang mengimami sudah tidak ada, masyarakat kalau shalat sendiri-sendiri, sebab tidak ada yang tahu menjadi imam. Lagian, yang hadir ke mushalla mungkin sekitar tiga sampai lima orang setiap hari.”
“Keadaan yang menyedihkan. Saya ke dalam dulu untuk shalat Sunnah, setelah shalat sunnah, kita bisa melaksanakan shalat jama’ah.”
“Baiklah! Saya berwudhu dulu.” Jefri memasuki mushalla secara hati-hati agar tidak menginjak debu yang berserakan.
Selesai shalat Jama’ah, dia memimpin dzikir, jama’ah yang berjumlah empat orang, ikut-ikutan saja. Lantas dia memimpin doa bersama.
“Mas siapa ya?” mereka sedang duduk santai.
“Saya Jefri.”
“Saya Tarib, ini Tejo, di sampingnya Sutan, dan sebelahnya Dardi.”
“Bapak sekalian tiap hari ke mushalla ini.”
“Kadang-kadang saja. Kami berempat paling sering ke mushalla.”
“Sebelumnya mohon maaf, mengapa mushalla ini dibiarkan tidak terurus?”
“Untuk apa? Tidak ada yang mau memimpin shalat jama’ah, dan masyarakat sini banyak yang tidak peduli.”
“Kalian peduli, bukan?”
“Jelas kami peduli.”
“Misalnya ada yang mau memimpin shalat Jamaah, khususnya Magrib dan Isya’. Apa kalian bersedia mengurus mushalla ini?”
“Maksudmu?”
“Saya insya Allah akan tinggal di desa ini dalam kurun waktu lama, bisa jadi seumur hidupku. Tidak ada salahnya, saya membantu kegiatan ibadah di sini dengan menjadi imam shalat.”
“Benarkah?” bersama-sama.
“Benar.”
“Terima kasih, kami senang sekali. Kalau bisa kamu juga mengajarkan anak-anak kami belajar mengaji.”
“Selama ini mereka belajar mengaji, dimana?”
“Mereka tidak mengaji lagi, karena tidak ada yang mengajar. Kegiatan mereka nonton televisi dan bermain.”
“Sehabis Magrib, saya mengajarkan anak-anak mengaji al-Qur’an.”
“Berarti doaku terkabulkan.”
“Apa yang kamu doakan?”
“Setiap hari saya berdoa agar ada orang pintar yang bersedia memimpin mushalla ini dan mengajarkan anak-anak kami mengaji. Alhamdulillah!”
“Sebagai wujud syukur, besok pagi kami bersihkan mushalla ini berempat.” Mereka gembira sekali, demikian juga Jefri. Di balik kejenuhan mengurus istrinya yang gila, dia bisa memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Murid yang mengaji, awalnya empat orang. Dia berusaha mengajar dengan sabar, memahami keadaan murid, memberikan cara yang tepat mengaji. Mereka gembira mendapatkan pengajaran mengaji, sebab sudah lama menginginkan hal itu.
Memulai sesuatu yang baru bagi anak-anak tidak semudah yang dibayangkan, namun karena dilakukan sepenuh hati, berbagai kesulitan bisa diatasi. Sehingga sedikit demi sedikit muridnya bertambah, jama’ah shalat juga bertambah.
“Ustad, mohon mengisi ceramah sunnatan untuk anakku.” Ustad sebutan baru yang menyejukkan di hati.
“Kapan?”
“Besok sore, setelah shalat Asyar.”
“Tidak mengundang Kiai terkenal.”
“Saya tidak punya uang, Ustad. Biarlah melaksanakan secara sederhana saja.”
“Bagus itu.” Keesokan harinya, dia memberikan ceramah singkat tentang Khitanan. Dia membuka kembali buku-buku lama yang dibiarkan terbengkalai dalam dos. Dia berupaya memahami beberapa hadits dan teks Al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai tradisi yang ada di masyarakat.
“Makna menyunat anak-anak kita dalam khitanan, hakekatnya bukan sekedar pelaksanaan ajaran Islam, melainkan upaya kita untuk menjaga kebersihan anak-anak kita dari berbagai unsur yang merusak. Secara kesehatan hal ini penting, sebab lelaki yang disunat terbukti lebih sehat dari yang tidak, sebab kemungkinan melekatnya kotoran yang mengakibatkan penyakit bisa dihindari sedini mungkin.”
“Makna lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengingatkan kita para orang tua untuk mulai mengajarkan pada mereka tata cara melaksanakan ibadah, khususnya shalat lima waktu. Ini tidak akan berjalan dengan baik bila orang tuanya tidak memberikan contoh yang baik. Artinya orang tua yang rajin shalat, otomatis anaknya akan mencontohnya, sebaliknya mereka juga akan mencontoh orang tua yang tidak shalat. Maka dalam peringatan Sunnatan ini, para orang tua berkomitmen untuk menjalankan ibadah sebagaimana yang diajarkan Islam, sehingga menjadi suri tauladan yang baik bagi anak-anaknya.” Itulah ceramah pertamanya di depan masyarakat pada acara khitanan.
Tanggapan anggota masyarakat pada ceramahnya, cukup antusias. Bahkan dalam setiap kegiatan masyarakat seperti; walimatul ‘arsy, memperingati tujuh bulanan kandungan, kelahiran bayi, khotbah Jum’at, tahlilan, peringatan 40 dan 100 hari kematian seseorang, khaul dan tahlilan. Dirinya dibaiat sebagai pemimpin sekaligus penceramah. Sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Hidup di pedesaan dituntut berkompromi dengan berbagai tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tidak bisa seorang tokoh terkemuka sekalipun mengadakan perubahan tradisi secara radikal, sebab hal itu akan berbenturan dengan keyakinan masyarakat, yang menimbulkan berbagai efek negatif. Perubahan pada tradisi dilakukan secara perlahan-lahan, dengan terlebih dahulu masuk ke dalamnya untuk mengetahui secara langsung makna, simbol, fungsi, manfaat dan hakekatnya bagi mereka. Keyakinan inilah yang tertanam kuat dalam diri Jefri, maka langkah pertama menghadapi berbagai tradisi adalah berusaha mengenal lebih jauh tentang tradisi tersebut.
Setelah masuk ke dalamnya dan memahami makna masing-masing peringatan, dia mulai memberikan penjelasan di tengah-tengah masyarakat tentang hakekat dari acara tersebut, agar bisa difungsikan dengan benar.
Waktu itu salah seorang penduduk yang miskin kehilangan salah seorang anggota keluarganya yang meninggal dunia, yang meninggal adalah seorang ayah yang meninggalkan dua orang anak dan seorang istri. Seperti biasa dalam acara tahlilan hari pertama disuguhkan nasi pecel ikan tempe.
“Tahlilan ini adalah upaya kita bersama untuk mendekatkan diri pada Allah dan membantu doa pada keluarga yang ditinggalkan. Berhubung bahwa keluarga ini adalah orang miskin di desa, maka untuk hari selanjutnya tidak usah menyuguhkan apa-apa. Bagaimana pada hadirin?”
“Tidak bisa,” sahut seseorang.
“Itu melanggar adat yang ada.”
“Ini melanggar ajaran Islam,” orang-orang saling bersahutan mengomentari usulan Jefri.
“Kita ke sini ingin meringankan keluarga yang ditimpa musiba atau ingin memberatkan?”
“Ya, ingin meringankan.”
“Untuk membantu keluarga ini, kita tidak usah mengharapkan apapun saat tahlilan. Kita bayangkan saja, sekarang keluarga ini tinggal seorang wanita dengan dua orang anaknya. Masa depan mereka bertambah berat dengan tidak adanya kepala rumah tangga yang selama ini menghidupi mereka. Jadi sumbangan beras dan gula yang kita berikan bisa mereka gunakan untuk keperluan masa depan, bukan dihabiskan dalam tahlilan selama tujuh hari tujuh malam ini. Bagaimana?”
“Kami setuju,” empat orang mengacungkan tangan, yang lain akhirnya mengikuti satu persatu meski di sana sini terdapat suara ketidakpuasan. Sedang keluarga itu, mengucapkan banyak-banyak terima kasih padanya yang mau mengerti keadaannya.
Pada hari-hari tahlilan selanjutnya, tidak ada hidangan yang disediakan. Jamaah yang hadir berkurang. Ini menandakan ada sebagian yang tidak menyetujui langkah yang diambil Jefri.
“Pak, Ustad. Tunggu sebentar!” seseorang mencegahnya, dia hendak pulang kembali ke rumah.
“Ada apa?”
“Gawat, Ustad. Hhhheh!”
“Tenangkan dirimu, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.”
“Saya mendengar kasak kusuk sebagian masyarakat yang tidak menyenangi kehadiran Ustad di sini.”
“Sesuatu yang wajar. Setiap perbuatan pasti menimbulkan efek berganda.”
“Wajar sih wajar. Dari kabar burung yang kudengar, mereka berniat menyingkirkan Ustad dari desa ini.”
“Sejauh itukah?”
“Benar, Ustad. Makanya kamu harus bersiap-siap.”
“Saya sudah memperkirakan bahwa menjadi tokoh masyarakat tidak semulus yang berjalan selama ini. Anggap hal ini sebagai tantangan pertamaku bergerak di tengah-tengah masyarakat. Menurutku tidak perlu dikhawatirkan, hanya saya perlu mengetahui, kenapa mereka berbuat demikian?”
“Ustad dianggap terlalu cepat terkenal, menjadi tokoh masyarakat dan berani melakukan perubahan pada adat masyarakat.”
“Oh! Begitu. Kamu tahu siapa tokoh utama mereka?”
“Katanya sih...” mencoba mengingat-ingat “Bapak Marsam.”
“Terima kasih atas laporanmu, itu sangat berarti bagiku. Mari mampir ke rumah!” tanpa terasa dia hampir sampai ke rumahnya.
“Tidak, terima kasih kembali. Kapan-kapan aku main ke sini. Mari permisi!” Tarib pergi meningggalkannya yang dipenuhi berbagai tanda tanya. Apa yang hendak dilakukannya? Siapa sebenarnya Marsam? Jalan keluar apa yang ditempuh? Bagaimana mengatasinya? Apa yang mereka rencanakan?

Dia sedang mengajarkan anak-anak mengaji, ketika tiga lemparan mengenai dinding mushalla, dia bergegas kerluar mushalla untuk mengetahui orang yang melakukan, tapi tubuhnya hilang dalam kegelapan malam. Dia tidak berniat mengejarnya kembali.
“Siapa yang melakukan Ustad?” tanya seorang anak.
“Saya tidak tahu. Sudahlah! Mari kita lanjutkan mengaji, mereka sekedar iseng tidak ada pekerjaan lain. Ada yang terkena pecahan genting?”
“Saya hampir, kena. Untung bisa menghindar,”sahut seorang anak. Adzan Isya’ berkumandang mereka kembali ke mushalla. Selesai Isya’ dia pulang ke rumah.
“Berhenti!” Tiga orang lelaki bertopeng mengelilinginya di dekat pekuburan yang sepi.
“Untuk apa kalian mencegatku?”
“Ha ha ha. Anak ingusan begini sok pintar.”
“Dia masih bau kencur.”
“Sekali pukul pasti terkapar.”
“Pasti.”
“Apa maksud kalian?”
“Kami ingin agar kau berhenti mengajar di mushalla, berhenti berceramah di tengah-tengah masyarakat dan berhenti mengusik tradisi yang ada.”
“Bukankah yang kulakukan demi kebaikan masyarakat desa ini?”
“Apa pedulimu pada kebaikan masyarakat. Sebelum kehandiranmu masyarakat sudah baik. Kami tidak butuh kehadiranmu.”
“Jika peringatan ini tidak diindahkan, terpaksa kami membunuhmu.”
“Wow! Aku takut mendengarnya. Ingatlah! Selama menyangkut kepentingan masyarakat, aku tidak akan mundur selangkahpun.”
“Kau tampaknya tidak mau dikasihani,” salah seorang langsung mengirim tendakan, ditangkis dengan tangan kirinya, dia pernah memegang sabuk hitam silat Cimande di pondoknya. Lelaki itu terjengkang. Kedua temannya datang menyerang secara bersamaan, dengan gesit menghindari dan mengirim pukulan balik, mereka berdua berjatuhan.
“Kami kembali lagi, nanti. Awas kau!” Mereka lari meninggalkannya yang temangu.
“Hhmmm!” dia menarik nafas dalam-dalam. Kejadian ini tidak akan menyurutkan niatnya untuk menggabdikan diri di tengah-tengah-tengah masyarakat, justru menjadi pendorong semangat.
Teror tidak berhenti sampai di situ, berbagai kejadian silih berganti berlangsung, tapi dia berhasil melaluinya dibantu empat orang pengurus mushalla yang mengajaknya membina masyarakat.
Dalam pemikiran Jefri, masalah ini muncul salah satunya karena dia sedikit merubah tradisi tahlilan, di samping ketidaksenangan sebagian orang melihatnya dengan cepat ditokohkan masyarakat. Untuk mengatasi masalah tahlilan, dia mengundang salah seorang Kiai berpengaruh untuk membicarakan masalah tahlilan, dan langkah yang diambilnya, dengan terlebih dahulu menceritakan apa yang telah dilakukannya.
“Tradisi tahlilan sebenarnya tidak ada pada zaman Nabi, dan baru berkembang beberapa abad setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Maka pelaksanaan dari tahlilan yang telah menjadi tradisi di lingkukan NU, tidak mesti dilaksanakan 100% seperti yang sudah dilaksanakan sebelumnya, perubahan sedikit disesuaikan dengan keadaan, adalah langkah yang bijaksana. Itu tidak melanggar agama, justru dianjurkan karna membawa kemaslahatan pada masyarakat. Inti ajaran Islam adalah demi kemaslahatan pemeluknya. Langkah yang ditempuh Ustad Jefri adalah terobosan baru yang baik, dan dilakukan demi kebaikan keluarga yang meninggal dunia. Maka sebagai Kiai, aku menyetujui apa yang dilakukannya. Jadi masyarakat tidak perlu merasa bahwa tradisinya diinjak-injak. Tradisi harus senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, jika tidak, kita akan digilas zaman. Maka untuk selanjutnya acara tahlilan tidak perlu menyodorkan makanan.” Lantas Kiai itu mengungkapkan berbagai alasan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, orang-orang desa mulai tidak mempersoalkan hal itu. Bahkan tradisi baru itu mulai dilaksanakan tidak hanya dalam keluarga miskin, tapi di keluarga kaya sekalipun. Ini agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
Suatu hari Jefri mendapatkan kunjungan tamu istimewa. “Boleh aku masuk?” Dia melihat tak berkedip, melihat Marsam bertamu ke rumahnya.
“Silahkan!” berusaha bersikap tenang.
“Apa yang bisa kubantu?”
“Kau hebat anak muda. Masih semuda ini, memiliki ilmu agama yang mempuni, ilmu silat yang bagus dan pantang menyerah. Aku salut padamu.”
“Pujian yang berlebihan.”
“Tidak, aku bersungguh-sungguh.”
“Hi hi hi. Aku binatang, dia binatang, semua binatang. Tidak ada sisa manusia di bumi. Horeee! Kita hidup dalam dunia binatang,” suara Ainun dari dalam kamar menyentak tamunya.
“Suara siapa itu?” Jefri terdiam beberapa saat, dia sebenarnya ingin menyembunyikan kegilaan istrinya, tapi kini jusrtu musuhnya yang mengetahui pertama kali.
“Itu suara istriku yang gila.”
“Apa? Kau membawa orang gila ke desa ini?” Di balik sikap terperangah, tersembunyi kegembiraan dari raut wajahnya.
“Tidak ada salahnya merawat orang gila di desa ini.”
“Bukan tidak salah, hanya tidak boleh menyembunyikan orang gila di desa ini. Sudahlah! Aku permisi dulu.” Marsam langsung berpamitan pulang, karena mengetahui satu kartu truf yang bisa dimainkan.
Berita bahwa istri Jefri gila cepat menyebar di tengah-tengah masyarakat, dalam hitungan jam, hampir seluruh penduduk desa mengetahuinya.
“Pantas tidak keluar ke rumah.”
“Ya, sebagai warga baru seharusnya istrinya bergaul dengan masyarakat.”
“Bagaimana mau bergaul, kalau dia gila.”
“Puluhan bahkan ratusan hidup di desa ini, kita tidak pernah berdampingan dengan orang gila.”
“Orang gila akan membuat kekacauan di desa kita.”
“Bukankah dia tidak pernah membuat kekacauan?”
“Memang tidak. Tapi lama-lama dia akan membuat keributan di desa ini. Apalagi kalau masyarakat diam saja.”
“Apa yang mesti kita lakukan?”
“Kita harus protes pada kepala desa, agar mengusirnya dari desa ini.”
“Kalau kita mengusirnya, siapa yang akan mengajarkan anak-anak kita mengaji?” Mereka terdiam.
“Bagaimana jalan keluarnya?”
“Pokoknya kita harus melaporkan kejadian ini pada kepala desa, terserah beliau keputusannya.” Bebera orang di antara mereka dipimpin Marsam mendatangi kepala desa, kebetulan sedang berada di rumahnya.
“Ada apa beramai-ramai kemari?”
“Ini Pak ...”
“Anu .... Pak.”
“Biar aku yang bicara,” Marsam berdiri. “Keluarga Jefri membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat desa. Dia membawa istrinya yang gila ke desa ini.”
“Jangan bergurau. Tidak mungkin Bapak Jefri yang dikenal sebagai Ustad beristikan orang gila.”
“Benar, Pak. Aku sudah membuktikan sendiri.” Suparjo yang menjadi kepala desa terdiam beberapa saat.
“Pernyataan Marsam benar,” sahut yang lain.
“Kalapun istrinya gila, apa peduli kita?”
“Masa Bapak tidak mengerti. Dengan adanya orang gila di desa ini kehidupan masyarakat tidak tenang lagi.”
“Siapa tahu anak-anak kita yang diajari mengaji ketularan gila.”
“Dia bisa mengamuk di desa kita.”
“Dia harus disingkirkan.”
“Ya, mereka diusir dari desa kita. Setuju bukan?”
“Setujuuu!”
“Tenang, saudara-saudara. Mari masalah pelik ini diselesaikan dengan kepala dingin. Begini saja, beri aku waktu beberapa hari untuk menyelesaikan masalah ini dengan yang bersangkutan. Hasilnya akan saya sampaikan pada kalian semua nantinya. Bagaimana?”
“Baiklah, Bapak kami beri waktu seminggu untuk menyelesaikan masalah ini.” Mereka meninggalkan rumah kepala desa satu persatu. Suparjo tertegun beberapa saat memikirkan yang hendak dilakukannya.
Jefri merasa aneh, melihat jamaah shalat Magrib sedikit, dan muridnya datang hanya empat orang, tidak jauh berbeda dengan awal kedatanggannya. Dia menyimpan semua tanda tanya.
“Mengapa tinggal empat orang yang mengaji?”
“Tidak tahu, Ustad.”
“Banyak PR mungkin.”
“Berapapun jumlah anak yang mengaji tidak penting. Ayo buka al-Qur’annya.” Mereka mulai belajar mengaji sampai shalat Isya’ berkumandang.
“Pak Ustad, ada yang ingin kami sampaikan.”
“Berkaitan dengan minimnya murid, bukan?”
“Salah satunya.”
“Katakanlah apa yang hendak kamu sampaikan!’
“Kamu saja yang ngomong.”
“Tidak kamu saja,” sambil menyikut sebelahnya.
“Ayo cepat sampaikan!” sambil berbisik.
“Eee,... anu Ustad. Sebelumnya mohon maaf, kami mendengar kabar bahwa istrimu gila.” Dengan cepat imajinasi mengaitkan dengan kedatangan Marsam ke rumahnya, ini mungkin penyebabnya.
“Memangnya kenapa?”
“Ti...dak apa-apa, sih!”
“Banyak anggota masyarakat yang resah, itu masalahnya.”
“Makanya banyak anak-anak yang dilarang orang tuanya mengaji.”
“Menurut kalian apa yang harus kulakukan?”
“Kami tidak tahu.” Mereka terdiam beberapa saat dalam lamunan masing-masing.
“Saya akan berupaya mencari jalan keluar dari masalah ini. Saya berharap kalian mendukungku.”
“Tentu Ustad.”
“Apapun yang terjadi, kami selalu mendukungmu.”
“Kalau perlu dengan nyawa kami.”
“Terima kasih!” Jefri memeluk mereka satu persatu, menunjukkan betapa dukungan mereka di saat-saat sulit sangat membantunya. Dia pulang ke rumah dengan langkah gontai, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi.
“Mukamu kusam, Jef. Ada apa?” Tegur neneknya. Dia duduk di kursi ruangan tengah.
“Tidak ada apa-apa.”
“Kau pasti menyembunyikan sesuatu.”
“Tidak, Nek. Sungguh!”
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam. Bapak Kades, tumben kemari.”
“Saya ada perlu dengan Ustad.”
“Silahkan kalau begitu!” Nenek ke dapur menyuruh pembantunya untuk menyiapkan minuman. Dia menguping pembicaraan dari balik pintu.
“Maksud kedatanganku kemari ingin mengetahui sebenarnya kabar burung yang kami dengar.”
“Maksud Bapak berkaitan dengan kegilaan istriku.”
“Begitulah!”
“Memang benar istriku gila.”
“Boleh kutahu penyebabnya?” Jefri memalingkan muka melihat ke ruangan istrinya.
“Hhmmm!” dia menarik nafas dalam-dalam. “Dia seorang mahasiswi tercantik di kampus, banyak lelaki yang ingin menjadikannya pacar, namun dia memilihku lelaki biasa. Suatu saat terjadi miskomukasi dan salah paham antara kami, yang menyebabkan dirinya gila. Mengetahui dia gila saya stres, frustasi, tidak tahu harus berbuat apa. Berhari-hari mencari cara terbaik mengatasi masalah ini, sampai timbul dalam diriku suatu keputusan untuk mengawininya.”
“Jadi kamu mengawininya ketika dia sudah gila, bukan sebelum dia gila.”
“Ya. Saya ingin membuktikan bahwa dalam zaman yang mana kesetiaan tidak memiliki makna, perselingkuhan dianggap biasa, gonta-ganti pasangan dianggap lumrah, pelampiasan nafsu dijadikan hakekat cinta, masih ada lelaki yang mengorbankan kehidupannya demi orang yang dicintainya. Saya ingin agar orang-orang menyadari keabadian cinta di dunia, bukan omong kosong belaka. Berhubung tidak memungkinkan proses penyembuhan dilakukan di kota, maka saya berinisiatif untuk berusaha mengembalikan ingatannya kembali di desa ini, di rumah neneknya. Agar tidak terjebak dalam rutinitas dalam merawat istriku, saya berusaha mencari aktivitas lain yang bermanfaat ditengah-tengah masyarakat, yakni mengajari anak-anak mengaji.”
“Kamu bahagia menjalani semua ini?”
“Kebahagian bukan tujuan yang ingin kucapai. Saya ingin menjalani kehidupan ini sebagai proses penyempurnaan jati diri, proses pengembangan eksistensi diri, dan proses yang terus berkembang. Jadi inti kehidupanku adalah proses, segala sesuatu yang kulakukan tidak pernah kuanggap sempurna. Maka menyikapi kegilaan juga harus dianggap suatu proses”
“Maksudmu?”
“Manusia hidup antara dua bentuk kesadaram, yang kita kenal dengan orang waras dan orang gila. Orang waras memiliki pemikiran yang terarah, memahami ketertiban sebagai sarana kehidupan, disiplin diri dinomersatukan, menyenangi kehidupan yang lurus tanpa hambatan. Sedang orang gila bersikap sembarang, pikiran meloncat-loncat tak tentu arah, tidak bisa berkomunikasi dengan orang waras, dan mengatakan apa yang ada dibenaknya tidak peduli orang lain. Memang tidak mungkin mempertemukan kewarasan dan ketidakwarasan, sehingga manusia modern menciptakan rumah sakit jiwa, tapi rumah sakit jiwa jarang mewaraskan orang gila. Karena ini mengalami kegagalan, orang-orang waras perlu memahami orang gila sebagai orang-orang yang memiliki logika tersendiri dan imajinasi yang bebas. Pemahaman ini diharapkan mampu merubah persepsi masyarakat.”
“Berarti kita dituntut lebih memahami orang gila karena kita waras.”
“Begitulah. Dengan menghormati orang gila sebagai manusia yang berpikiran berbeda, membuat kita benar-benar waras. Inilah inti pemikiranku.”
“Saya mengerti sekarang. Kamu hebat sekali, Ustad. Apa yang kamu lakukan sungguh luar biasa; pengorbanan cinta yang tulus, pengabdian di tengah-tengah masyarakat, dan pemahaman baru pada orang gila. Kalau begini keadaanya, saya mendukungmu. Kamu tidak peduli kata orang, paling penting jalani aktivitas seperti biasa. Saya perlu menjelaskan persoalan ini pada masyarakat secara utuh, semoga mereka bisa mengerti.”
Keesokan harinya, Suparjo menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di balai desa, banyak anggota masyarakat yang hadir dalam acara itu. Orang-orang yang awalnya banyak tidak setuju dengan keberadaan Jefri dan istrinya, berganti rasa simpati. Ibu-ibu menitikkkan air mata haru, melihat pengorbanan yang luar biasa.
“.... Sebagai kepala desa, saya menggunakan hak untuk mendukung apapun yang dilakukan saudara Jefri. Kalian boleh memilih mendukung yang dilakukannya atau tidak. Terserah kalian.” Mereka terdiam, suasana sunyi menyelimuti pertemuan itu.
“Kami mendukungnya,” ibu-ibu mendadak berdiri semua.
“Kami juga,” sebagian besar yang hadir memberikan dukungan. Marsam dan lima orang temannya tidak ikut berdiri, dia justru merasa terasing kini. Apa yang dilakukannya dengan menyebarkan berita kegilaan istri Jefri agar diusir dari desa, malah mendapatkan simpati dari masyarakat. Mereka keluar dari balai desa satu persatu menuju rumah Marsam.
“Kurang ajar. Para penduduk justru mendukungnya.”
“Tidak tahu harus melakukan tindakan apa lagi.”
“Apakah kita menyerah sampai di sini saja?”
“Hus! Tidak boleh bicara sembarangan. Kita tidak pernah menyerah untuk mengenyahkan Jefri dari desa ini. Dia telah merampas mata pencaharianku, dia lebih terkenal dariku, dan kini penduduk desa mendukungnya. Kita harus menyusun langkah lanjutan.”
“Apa yang hendak kita lakukan?”
“Tunggu informasi lebih lanjut dariku,” perkumpulan mereka bubar.
Jefri menjalankan kegiatan seperti biasa, merawat istrinya, mengajar mengaji dan memenuhi undangan masyarakat dalam acara-acara tertentu. Kekhawatiran terhadap kelompok Marsam mulai menghilang, seiring dukungan masyarakat yang meluas, dan sampai hari itu tidak ada gerakan yang berarti dari mereka.
Seiring dengan penerimaan masyarakat pada kegilaan istrinya, suatu hari dia mengajak istrinya keluar rumah, diikuti nenek, dan Surti. Langkah pertama, kedua, ketiga tidak ada masalah, dalam langkah keempat, dia menutup mata, berteriak nyaring. “Tidaaak!” Nenek menangis, Jefri mengejar ke dalam, istrinya duduk tengkurap di pojok ruangan. Dia bermain bekel di hadapannya, lama kelamaan diapun beringsut mendekati, bermain bersama. Melupakan kekagetan melihat dunia yang membentang luas.
Keesokan hari dicoba kembali, tidak berhasil. Terus dicoba, sampai dia berasa terbiasa berjalan di sekitar rumah ditemani, nenek, Surti, dan suaminya bergantian.
Kini dia merasakan bahwa dunia hakekatnya luas, tidak sesempit kamarnya, yang menjadi penjara baginya. Sebuah perkembangan yang cuckup berarti dalam proses penyembuhannya.
Mereka menemani bermain bekel, bermain petak umput dengan pengawasan, dan bermain sodor. Orang-orang desa yang melihat menahan tawa, mereka tidak berani tertawa lepas khawatir mengagetkan istri Ustadnya di kampung, yang telah berjasa membangkitkan kegiatan keagamaan.


Dua Belas
Tepat pada hari Minggu yang merupakan ulang tahun Ainun, kue Tart khusus ulang tahun sengaja dibawa dari kota. Jefri, nenek, dan kedua orang tuanya menyiapkan segalanya untuk ulang tahunnya, yang siapa tahu bisa mengingatkan ke masa lalu, ingatan yang diharapkan menjadi awal kesembuhannya. Inilah kenangan yang paling berkesan dalam kehidupannya.
Jefri membawa kue ke dalam, diikuti nenek, kedua orang tuanya, dan dua orang membantu. Awalnya Ainun tersenyum menatap kue yang diletakkan di hadapannya. Lama kelamaan, matanya melihat ke sekitar, melihat lima orang dihadapannya dia kaget setengah mati. Dilemparkannya; kue ulang tahun, guling, bantal, sprei, dan dicabik-cabiknya kue, dan dilemparkan pada mereka. Mereka lari keluar, Jefri tetap di tempatnya.
“Pergi kau!” Dia mendekati istrinya, “Keluar sekarang!” semakin dekat, “Keluaaar!”
“Aku Jefri sayang,” dia memegang bahunya.
“Keluar kataku,” Ainun memberontak dari genggamannya.
“Aku Jefri...!” Teriaknya menumpahkan seluruh emosi yang tak tertahankan lagi. Ainun terkejut, beringsut ke pojok ruangan. Dengan gontai dia melangkah keluar, timbul perasaan putus asa bahwa yang dilakukan selama ini adalah kesia-siasaan, dalam hati muncul kekhawatiran bahwa rencana yang telah dibuat mengalami kegagalan, dan kekecewaan memuncak, karena tidak ada tanda-tanda kesembuhannya.
Mereka hanyut dalam isak tangis, menumpahkan seluruh kesedihan. Air mata merupakan pelampiasan dari kesedihan, kekecewaan, dan kegetiran manusia menghadari realitas yang tak mampu dimengerti.
“Sudah kubilang tidak akan berhasil,” sahut papanya, suasana mulai tenang. “Masukkan saja ke rumah sakit jiwa kembali!”
“Jangaaan!” larang nenek. “Kalau sudah tidak ada yang sanggup menangani, biar aku sendirian yang akan merawatnya.”
“Tidak boleh bilang begitu, Nek. Aku masih sanggup,” Jefri menyela. “Aku ingin menumpahkan emosiku, menumpahkan segenap kesedihan, dan menumpahkan kegetiran yang membelenggu di dada.”
“Kau sebaiknya kembali ke rumahmu dulu, Jef. Kasihan keluargamu.”
“Tidak bisa. Aku tidak akan pulang ke rumahku sebelum membawa istriku sembuh. Tak puduli ini bisa dilakukan tahun depan, tiga tahun lagi, atau sampai aku mati. Aku mencintainya, aku ingin mencintainya tanpa batas, seperti yang dilakukannya padaku dulu. Sudahlah! Aku capek. Aku ingin istirahat!” Dia melangkah menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar istrinya, dan merebahkan tubuhnya.
Pikiran menerawang jauh melintasi kisaran waktu, bayang-bayang peristiwa lalu lalang, mengitari dirinya. Berbulan-bulan bersama kegilaan, dia mencoba memikirkan apa yang telah dilakukan; menemani hari-hari bersama istrinya, membimbing menghadapi kenyataan hidup, mencoba berbaur dalam kehidupan keluarga, apa hasilnya? Istrinya sekarang, bisa bergaul dengan anggota keluarga, bisa menikmati matahari, dan menerima kehadirannya di sampingnya. Dia ingat, Ainun butuh setahun untuk menyadari bahwa dirinya salah paham menyangkut hubungan dengan Fatimah. Mengapa dia harus menyerah pada sebuah kegagalan saja? Dalam sudut pikiran dia teringat perkataan Thomas Alfa Edison: “ketika seseorang memutuskan untuk menyerah, betapa dekatnya dia pada kesuksesan,” siapa tahu kesuksesan itu memang dekat, cuman dia tidak menyadari. Dia harus bersabar menghadapi kenyataan yang dihadapi.
Bayang-bayang anak-anak kecil yang mengaji di surau penuh semangat setiap malam, membuat jiwa pengabdian pada masyarakat, menambah motivasi untuk tetap bertahan merawat istrinya. Orang yang terbaik adalah yang membawa manfaat yang sebesar-besarnya pada orang banyak, dirinya banyak bermanfaat bagi anak-anak, masyarakat yang belajar mengaji. Dirinya bermanfaat bagi warga masyarakat yang haus kegiatan keagamaan yang mulai menghilang. Kehidupan manusia selama ini terjebak dalam rasionalisme semata, padahal jika hanya berpijak padanya, justru banyak manusia masa kini yang merasa tersesat. Dalam kondisi ini, agama menancapkan jati diri, menawarkan obat mujarap bagi manusia, menolong dari kehidupan yang semakin tidak pasti, tidak menentu, dan tidak karuan ini.
Dia merasa menikmati hidup di tengah-tengah masyarakat, mengabdikan diri tanpa pamrih pada mereka, dan melanjutkan usaha menyembuhkan istrinya dari penyakit kegilaan, akan membawanya pada hakekat hidup yang diinginkan.
Keasyikan tenggelam dalam imajinasi, membuatnya tertidur pulas. Dalam malam gelap gulita mimpi hadir; dia seperti berupaya memetik bunga di bulan, padahal dirinya berpijak di bumi, segala daya upaya dilakukan, segala usaha dilaksanakan, segala tindakan diambil, guna memetik bunga, namun bunga tak kunjung dapat dipetik. Sampai dia merasa sangat kelelahan, kecewa, dan frustasi, sehingga bunga justru menjauh. Dia menyingkirkan segala penyakit mental yang hanya mengganggu memetik bunga, bangkit kembali berdaya upaya guna memetik bunya. Dalam usaha yang tak kenal lelah, dia melihat tangga menjulang tinggi membimbing menuju bulan, dia melangkah dengan cepat, berbekal keyakinan yang membara, dia meneruskan langkahnya, tidak peduli; keringat bercucuran, rasa lelah mendera dan tubuh yang kepayahan. Akhirnya dia mampu memetik bunga.
“Aku berhasil!” Terbangun dari tidur, seulas senyum tersungging.
Jefri bangun dari tidur, segera ke kamar mandi mengambil wudhu’ dan menunaikan shalat Shubuh. Lalu melangkah menuju kamar istrinya. Ainun nampak masih tengkurap di tempatnya. Ah! Aku membiarkannya semalam, ujarnya dalam hati. Dia mengangkat tubuhnya. Ainun terbangun, secara reflek memeluk erat, ada perasaan tenang dalam jiwanya. Dia meletakkan di atas kasur, pelukan tidak dilepaskan. Hati merasa tentram, mungkin dalam ketidaksadaran dia menyadari bahwa tingkahnya selama ini salah. Entahlah! Dia hanya mampu mereka-reka. Satu jam berpelukan, istrinya terbangun, dia tersenyum melihatnya berada di sampingnya. Dia melepaskan pelukannya.
“Aku mau mandi,” ujar Jefri. Dia melangkah ke kamar mandi. Istrinya ganti mandi, dan dia melakukan rutinitas mengganti bajunya. Hari itu dia membimbing istrinya keluar, nenek menyambut dengan senyum, Surti dan suaminya tersenyum, di ujung jalan melihat kedua orang tuanya dia membuang muka, hati mereka terasa perih. Mereka berdua duduk di atas rumput.



Tiga Belas
“Kau harus terbiasa menikmati hidup di alam bebas.”
“Kehidupan adalah kematian. Ketika manusia hidup dia menyiapkan diri untuk mati. Hidup konsekswensi dari mati.” Dia gembira melihatnya mau berbicara, walau arahnya tidak jelas.
“Aku setuju pendapatmu.”
“Alam diciptakan Allah sangat indah sekali, segala sesuatu dibuat serba teratur, manusia yang serakah mengeksploitasinya menggunakan segala daya upaya, dibantu teori-teori ilmiah bahu membahu untuk menghancurkan alam. Tahun silih berganti, alam semakin tidak ramah pada manusia, sebab dirinya hampir setiap hari didholimi demi kepentingan sesaat. Kepentingan perut yang hanya mampu menampung, paling kuat tiga piring nasi.”
“Kau seperti anggota Green Peace sekarang, ha ha ha!” Jefri tertawa renyah, orang-orang yang memperhatikan dari jauh menjadi kebingungan.
“Cinta,” Ainun wajahnya sedih, air mata menggenangi kedua pelupuk mata. “Berapa banyak orang yang jadi korban cinta? Cinta yang kini diartikan upaya pelampiasan nafsu semata, cinta yang dipahami sebagai pelampiasan rasa suka, cinta dirasakan sebagai masa indah penuh kepalsuan, cinta tidak menawarkan apapun kecuali kesengsaraan.” Dia merasa perih mendengar kata-kata terakhir, sesuatu dalam hatinya seperti hancur berkeping-keping, namun berusaha menahan rasa perih itu.
“Berarti kau ingat. Aku Jefrimu,” istrinya menatap tanpa berkedip.
“Ha ha ha! Kau siapa, aku tidak tahu. Kau baik padaku,” Jefri gembira, perasaan istrinya berubah, sekarang Ainun menganggap dirinya telah berbuat baik, meski tidak merasakan kehadirannya benar-benar nyata di hadapannya. Berarti ada kemajuan. Dia ingat mimpinya semalam, tekad di hati bertambah bulat, meneruskan segala usaha.
Setiap hari dia mengajak istrinya ke luar rumah menikmati sejuknya angin, belaian sinar matahari, kicau burung yang merdu, dan memandangan alam yang indah. Dengan mengajaknya berjalan-jalan diharapkan proses pemulihan kesadaran bisa berhasil.
“Kehidupan kota seperti hidup dalam hutan beton yang menjadi penjara makhluk modern. Dalam kerasnya kehidupan kota manusia menjadi objek dari bangunan yang dibangunnya. Mereka seperti penyembah patung, yang membuat sendiri, lalu disembah sebagai Tuhan. Justru keadaan ini yang membuat mereka bangga.” Ainun berbicara menurut apa yang ada di benaknya, Jefri hanya diam.
“Berbeda dengan kehidupan di desa, mereka mencari uang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok saja. Ah! Itu dulu. Sekarang orang desa juga dituntut melakukan hal yang sama dengan orang kota, sebab menjalani kehidupan semakin lama bertambah sulit.”
“Hidup apa adanya menjadi karakter utama kehidupan masyarakat Indonesia. Makanya gara-gara prinsip ini kita tidak pernah lepas dari penjajahan. Mulai penjajahan Portugis, Belanda, Jepang, IMF sampai AS. Mereka menjajah dengan berbagai bentuk dan cara, sehingga masyarakat terbius.”
“Kau berbicara apa saja terserah,” ujar Jefri dalam hati.
“Kapan negeri kita yang dicintai ini menjadi negara yang mandiri tanpa intervensi asing berupa apapun, meski berwajah bantuan. Dulu kata bantuan merupakan kosa kata yang bermakna menolong orang tanpa pamrih, kini makna kata bergeser menjadi bantuan adalah menolong dengan tetap menawarkan keuntungan pada pemberinya, bahkan pihak yang dibantu dipaksa merasa tergantung padanya, sehingga mudah dipengaruhi. Tidak ada perbedaan makna lagi antara bantuan dan pemaksaan.”
“Kau tidak capek berbicara terus menerus?”
“Negara-negara maju menciptakan berbagai instrumen untuk memperkuat kekuasaan mereka dalam berbagai bentuk; IMF, Bank Dunia, WTO, dan PBB. Tujuan terselubung di balik itu adalah supaya mereka bisa memasarkan produk, menciptakan ketergantungan, mengintervensi kebijakan, dan menghisap negara-negara berkembang. Ini belum cukup, ditambah upaya liberalisasi segala bidang. Padahal jelas-jelas negara-negara berkembang tidak siap, mereka terpaksa menerimanya. Jika tidak akan menerima konsekwensi. Konsekwensi yang menjadikannya terpuruk. Tidak ada yang bisa menolak, semua menyahut pasrah inggih.”
“Meskipun gila, apa yang kau sampaikan mengandung kebenaran.”
“Aku muak dengan kehidupan ini. Ketidakadilan dianggap keadilan. Kesalahan dianggap kebenaran. Kejahatan dianggap kebaikan. Perampokan dianggap pertolongan. Keserakahan dianggap manusiawi. Penjajahan dianggap penolong. Kekuasaan dianggap dewa. Penghancuran peradaban dianggap pahlawan. Kekalahan dianggap kemenangan. Lantas dimanakah letak perbedaan makna kata?”
Jika ingin berbicara, istrinya semangat berbicara. Sebaliknya bila tak ingin berbicara, dia diam seribu bahasa. Seperti waktu itu, saat dia mengajak berkeliling ke sekitar desa, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia juga tidak berusaha mengajak berbicara, sebab akan sia-sia belaka.
Orang-orang yang berpapasan dengan mereka berdua, tersenyum menunjukkan persahabatan yang tulus, tidak seorangpun mengatakannya gila, itulah komitmen mereka. Dia gembira, melihat masyarakat desa membantu kesembuhannya secara langsung.
Pada waktu sendirian dia sering mencerna yang dikatakan istrinya, dalam masa kontemplasi timbul pemahaman bahwa apa yang dikatakannya mengandung kebenaran. Apakah tidak lebih baik dia mendengarkan perkataan-perkataannya sebagai wahana untuk belajar? Bukankah Faucoult yang pernah meneliti tentang kegilaan menyatakan bahwa orang gila adalah puncak kecerdasan manusia, mereka memiliki logika yang khas, dan menikmati hakekat kebebasan sebelum dipenjara dalam rumah sakit jiwa? Dia bisa melakukan penelitian yang sama, terhadap Ainun kekasihnya, siapa tahu bisa memunculkan ide, inspirasi dan membangkitkan imajinasi.
Suatu hari Jefri mengajak Ainun berjalan-jalan, kali ini Ainun sering melantunkan puisi.
Gelap adalah gelap
Terang adalah terang
Gelap dan terang
Bertarung saling mendominasi
Mulai dulu sampai kini

Ainun berpuisi, Jefri merasa senang mendengarnya. Dengan telaten dia mencatat. Tidak selamanya bersama orang gila terasa menakutkan, membosankan, mengkhawatirkan, dan tidak mengenakkan.

Pengamat berbicara sampai berbusa
Ekonom berdebat sampai berbisa-bisa
Cendikiawan mengabdi pada harta
Intelektual berlomba-lomba menghamba
Pejabat berpikir tetap berkuasa
Pegawai tuan yang tidak ingin menjadi hamba
Petani menjadi budak keserakahan
Nelayan menjadi babu di lautan
Pedagang kecil menjadi sapi perahan
Pengusaha merampok kekayaan
Apakah yang bisa dibanggakan?

Jefri tertarik dengan puisi-puisi yang disampaikan, sebab apa yang disampaikan mengandung kebenaran.
Kebenaran berada di atas puncak gunung
Berdiri agung di bawah langit
Terbang tinggi di angkasa
Menjauh dari bumi
Tempat manusia bersemayam

Kebenaran menyimpan kepalsuan
Butuh waktu menyingkap topengnya
Maka klaim pada kebenaran
Adalah klaim pada kepalsuan
Apa yang benar sekarang
Menjadi kekeliruan esok hari
Menjadi abu-abu pada masa depan
Menjadi barang rongsokan dalam kehidupan

Orang-orang berkhutbah:
“Kejahatan tidak pernah menang melawan kebenaran”
Legenda
Cerita
Mitos
Media
Mengamini secara patuh
Kenyataan tak pernah mengamini

Kenyataan mengungkapkan apa yang ingin dinyatakan
Bertahun-tahun diperintah seperti budak adalah kejahatan
Kita diam seribu bahasa
Sudah tahu wakil rakyat hendak menjarah
Kita memilihnya atas nama agama
Sadar orang yang memimpin adalah Durna,
dalam wajah yang lembut
Kita terpesona

Kita membanggakan Durna masa kini
George Bush
Tony Blair
Fidel Castro
Osamah bin Laden
“Bukankah kejahatan lebih unggul dari kebenaran?”

Jefri merasa orang yang ada di hadapannya bukan Ainun, melainkan Rendra yang memberontak, Musthafa Bisri yang menyindir, dan Taufik Ismail yang mendayu-dayu. Metaformosa ini lahir dari kegilaan bukan kewarasan.
Saat Ainun mengungkapkan apa yang ada di kepalanya apa adanya, Jefri melihat bahwa dirinya sedang menikmati kebebasan sejati, tanpa rasa takut pada apapun.
“Hai kalian semua, dengarkan khotbahku! Fakir miskin adalah kekasih Tuhan yang dianaktirikan manusia. Yatim piatu teman Ibrahim yang disia-siakan manusia. Gelandangan merupakan sahabat Muhammad yang diacuhkan manusia. Maka sayangilah fakir miskin, yatim piatu dan gelandangan, kalian akan menjadi kekasih Tuhan, sahabat Muhammad dan teman Ibrahim di Surga. Tapi masihkah peduli surga? Takutkah pada neraka? Sedang sikap kalian tidak mempedulikan sesama manusia.”
“Agama menjadi rahmat bagi seluruh alam. Agama menciptakan berdamaian. Agama melahirkan ketentraman. Agama membimbing pada kebahagian. Agama menghormati hak asasi manusia. Agama memanusiakan manusia. Maka kalau agama berubah menjadi bencana, melahirkan perang, menimbulkan kekacauan, menghasilkan penderitaan tiada akhir, menginjak-injak hak asasi manusia, dan membinatangkan manusia, berarti ada yang salah dalam agama tersebut, atau pemeluknya menganut aliran yang salah, atau manusia yang beragama justru memanfaatkan agama kepentingan diri, atau subyek masing-masing agama mengedepankan egoisme sempit demi kelompoknya. Tuhan menciptakan agama, agar manusia mawas diri, introspeksi diri, memahami kelemahan diri, mengerti keterbatasannya di balik kelebihannya, dan saling menghormati anatar sesama. Maka bersatulah wahai manusia!”
“Mari mulai sekarang kita berlomba-lomba melakukan kebaikan, berlomba-lomba bersikap rendah hati, berlomba-lomba mengendalikan diri, berlomba-lomba mengendalikan, berlomba-lomba membimbing pemikiran, berlomba-lomba mengatur imajinasi, berlomba-lomba mensyukuri nikmat, berlomba-lomba saling memberi, berlomba-lomba membagi kebahagiaan, berlomba-lomba menahan amarah, berlomba-lomba menahan nafsu, dan berlomba-lamba melaui proses kebenaran tanpa berupaya mengklaimnya,”
Dia berkhutbah seperti KH. Abdullah Gimnastiar, KH. Zainuddin MZ, KH. Syhukron Makmun. Malah menilik nilai universalitas yang disampaikan, mungkin dia telah melampaui mereka semua, yang bergerak dalam tema yang sama.
Karena kelelahan, Ainun duduk di atas rumput, kaki dijulurkan, dan mata menunduk dikatupkan perlahan. Dalam waktu relatif singkat, dia tertidur di atas rumput. Jefri mengangkat tubuhnya dan membawa pulang. Dia menidurkan di atas kursi. Lantas dia duduk di lantai membaca kembali apa yang ditulis.
Mencerna berbagai pemikiran yang disampaikan, mulai masalah ketidakadilan, kebobrokan bangsanya yang semakin membusuk, agama yang diselewengkan, hakekat kebenaran adalah proses kebenaran, dan khotbah yang disampaikan memberikan keyakinan bahwa pendapat Faucoult yang menyatakan puncak kecerdasan manusia ketika dia gila adalah benar adanya sesuai kenyataan yang dia lihat dalam diri Ainun. Orang gila memiliki logika tersendiri yang, bila ingin memahaminya harus mampu bergaul dengannya sebagai orang yang mengalami kegilaan walau dibungkus kepura-puraan.
Dalam kebersamaan dengan istrinya, dia bisa belajar tentang berbagai hal yang tidak ditemui dalam dunia orang-orang waras. Tidak perlu membaca buku berjilid-jilid untuk memahami realitas, dengan menemani orang gila, dia bisa mengekplorasi berbagai pemikiran, wacana, diskursus dan realitas.
Satu yang pasti perbedaan orang yang waras dan tidak waras adalah orang yang waras senantiasa dituntut menyikapi pemikiran, kenyataan dan tindakan disesuaikan dengan apa yang terjadi, tidak peduli apakah benar atau salah, sedang orang yang tidak waras mampu bersikap jujur pada pemikirannya, menyikapi kenyataan apa adanya tanpa tendensi, dan tindakannnya bersifat sembarang.
Hari-hari bersamanya yang mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk, mendatangkan kebahagian tersendiri bagi Jefri. Sebab hal ini berlangsung tidak dalam kurun waktu tertentu secara konsisten, tapi waktu khusus saat alam bawah sadar Ainun ingin mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan.
Ketika mengajak berjalan-jalan kembali, Ainun justru lebih banyak membisu. Kadang tersenyum, tertawa terbahak-bahak, atau menangis pilu. Jefri tidak menafsirkan apakah makna senyum pertanda kebahagian, apakah tawa perwujudan dari rasa senang, atau tangis ungkapan kesedihan, sebab logika semacam itu dimiliki orang yang waras, bisa jadi bentuk ekspresi lahiriah orang yang tidak waras, mengungkapkan sebaliknya, atau hal lain yang tidak saling berkaitan. Paling penting baginya, menemani Ainun apapun yang dilakukan, sebagai orang waras dia dituntut memahami orang tidak waras, bukan sebaliknya.
Dalam citra yang muncul mendadak di benaknya, terpampang rumah sakit jiwa, yang diciptakan orang waras untuk menampung kegilaan dan menyembuhkannya. Ratusan tahun sampai sekarang, apakah sudah diteliti secara seksama, bahwa rumah sakit jiwa merupakan tempat penyembuhan atau justru upaya orang-orang waras untuk memenjarakan orang yang tidak sama dengannya, karena dianggap menganggu ketertiban, menentang disiplin, membuat keonaran dan menyusahkan orang waras. Rumah sakit jiwa menjadi bentuk dominasi kewarasan atas ketidakwarasan.
Rumah sakit jiwa bukan alternatif dari masalah kegilaan, melainkan bentuk represif orang waras pada orang yang tidak waras. Dalam logika Nietsche, kehendak untuk berkuasa orang waras terhadap orang yang tidak waras, yang bersikap lain dengan dirinya. Kekuasaannya diwujudkan dalam rumah sakit jiwa. Maka sengsaralah orang-orang yang menyerahkan saudara, ayah, ibu, nenek, teman, dan sesama manusia, ke penjara yang bernama rumah sakit jiwa.
Seandainya yang mengalami ketidakwarasan adalah dirinya, apakah dia berani menyerahkan diri ke rumah sakit jiwa, atau dia akan berupaya sekuat tenaga agar tidak dimasukkan ke sana? Hidup adalah memilih, ketika pilihan pada orang yang tidak waras menggunakan standar orang yang waras, itu sama artinya dengan menyuruh bayi yang baru lahir berlari dengan cepat, yang terjadi adalah kemustahilan penyelesaian masalah, justru menciptakan masalah baru. Masalah baru yang muncul senantiasa berupaya diselesaikan manusia dengan cara mudah, tidak memandang apakah baik atau buruk, yang penting masalah bisa diselesaikan.

Empat Belas
Jefri sedang memetik cabe rawit bersama buruh tani di sawah, ketika tanpa sengaja melihat tiga orang gadis sedang bersenda gurau. Dia mengenal salah seorang di antaranya yakni Safitri, dia jarang melihat dua lainnya. Mereka tertawa riang melewati jalan setapak di pinggir sawah. Dia mendekati mereka.
“Heiii! Boleh berbagi kegembiraan, nih?” Mereka berhenti tertawa, beralih memandanginya.
“Oh! Pak Ustad,” sahut Safitri.
“Jangan panggil dengan sebutan Ustad kalau sedang di luar, panggil saja Jefri. Lebih enak kedengarannya,” membersihkan pakaian dari kotoran.
“Tapi ....”
“Tidak ada tapi-tapian. Ustad sekedar panggilan saja. Oh ya, mereka berdua siapa Safitri?”
“Aku Dewi,” menjabat tangannya sebentar.
“Jefri.”
“Aku Shalihah,” mereka berjabatan tangan, ada sesuatu yang berdesir dalam jiwanya melihat kecantikan alamiah gadis ini.
“Kok jarang kelihatan?”
“Dewi teman kuliahku di Surabaya, sedang Shalihah mondok sambil kuliah di pesantren Nurul Jadid Paiton, makanya jarang kelihatan.”
“Kau mengambil jurusan apa, Dewi?”
“Aku kuliah ekonomi di UNAIR.”
“Sedang kau?” Jefri menatap Shalihah, gadis itu menunduk.
“Aku mengambil jurusan Tarbiyah,” lesung pipitnya menambah kecantikannya.
“Kalian menikmati liburan sekarang?”
“Aku ....” mereka menjawab hampir berbarengan.
“Aku main sebentar ke rumah Safitri. Dua hari lagi balik ke kampus.”
“Kuliahku telah selesai, tinggal mencari kerja,” Shalihah menimpali.
“Senang rasanya berbincang-bincang dengan anak kuliahan, aku bisa bernostalgia. Jika ada waktu, ajak mereka berdua ke rumahku, Safitri. Nanti sore.”
“Bagaimana teman-teman?”
“Boleh!”
“Kutunggu,” Jefri meninggalkan mereka menuju sawah. Dia melanjutkan pekerjaan memetik cabe rawit. Dia menikmati bekerja bersama mereka, di bawah terik sinar matahari yang menyengat, hembusan angin, dan suasana yang menyenangkan, sampai sore menjelang.
Ainun bermain bekel dengan Surti, sepulangnya Jefri dari sawah. Melihat kedatangannya, Surti melangkah pergi. Jefri duduk di hadapannya ikut bermain bekel. Sekelebat imajinasi hadir, untuk membentuk dirinya menjadi orang lain yang bisa merasakan penderitaan istrinya, lewat sikap sembarang.
“Nang ning neng nong...!” Ainun bernyanyi.
“Nang ning neng nong...!” Jefri ikut bernyanyi sambil memutari ruangan. Mereka seperti dua orang anak kecil yang sedang bermain, tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.
Jefri berusaha menggengam tangannya, ditepis dengan keras. Dia berhenti bermain, duduk di pojok ruangan sambil memegang kedua lututnya, dia menangis. Jefri tak tahu harus berbuat apa.
“Jefri cucuku, ke sini sebenar!” panggil nenek.
“Ada apa?” Jefri menyahut dari dalam rumah.
“Kau ditunggu tiga orang temanmu di ruang tamu.”
“Pasti mereka. Nenek bisa menjaga Ainun, bukan?”
“Jangan khawatir. Pergi sana!” Jefri melangkah menuju ruang tamu.
“Sudah lama?”
“Baru sampai.”
“Silahkan diminum tehnya!” mereka meraih gelas yang ada di hadapannya, meminum teh sedikit.
“Kak Jefri habis dari kamar Mbak Ainun, ya?” selidik Shalihah.
“Begitulah.”
“Berarti apa yang kami dengar, 100% benar.”
“Memanngnya apa yang kalian dengar?”
“Kau mengawininya ketika dia sudah gila untuk menunjukkan ketulusan cinta sejati. Malah kau mengorbankan segalanya demi dia; pekerjaan, hubungan keluarga, dan kebahagiaan. Kau benar-benar lelaki idaman setiap wanita,” ujar Dewi.
“Itu terlalu berlebihan,” muka Jefri bersemu merah dipuji.
“Mana ada orang mau mengawini orang gila walau dijamin hidupnya, kupikir mustahil terjadi. Kenyataan yang ada di hadapan kami mengindikasikan bahwa cinta sejati tidak lapuk oleh zaman, kesetiaan merupakan inti cinta, dan keabadian cinta bukan omong kosong belaka. Suatu kenyataan yang sulit diterima akal sehat.”
“Apakah kau tahu bahwa kenyataan sering kali bertentang dengan akal sehat.”
“Aku tidak mengerti yang kau sampaikan.”
“Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sering kali kita berhadapan dengan berbagai macam kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan akal sehat. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia mayoritas muslim yang menjujung moralitas sebagai tonggak utama, namun sikap masyarakat banyak kita temui bertentengan dengan nilai-nilai moralitas. Korupsi mendarah daging dari mulai level kepemimpinan paling rendah sampai ke yang paling tinggi, mulai pegawai kelas teri sampai pegawai kelas kakap. Semuanya melakukan korupsi. Upaya pemberantasannya seperti hidup di planet Mars.”
“Banyak orang bekerja keras siang malam sekedar mendapatkan sesuap nasi, itupun hasil yang diperoleh terkadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara sebagian orang, ada yang membelanjakan uang sehari, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sederhana sebulan. Kenyataan ini apa tidak bertentangan dengan akal sehat?”
“Aku juga sering mengalami hal itu. Pernah suatu ketika, kami putus pacaran yang dibina lima tahun, hanya gara-gara aku tidak datang tepat waktu pada ulang tahunnya.”
“Itu karena kau terlambat berulang kali, bukan hanya sekali. Wajar diputus pacarmu.”
“Ya ya ya...” sambil menirukan iklan. Mereka tertawa semua mendengarkan hal itu.
“Aku kasusnya berbeda. Sewaktu di pondok aku berdoa siang malam agar suatu saat kelak bisa mendapatkan kekasih yang setia sampai akhir hayat. Eh, sampai sekarang belum pernah pacaran sekalipun.”
“Itu namanya nggak laku-laku.”
“Tidak boleh berburuk sangka, mungkin ada alasannya.”
“Ya, benar. Anak pesantren pergaulannya terbatas,” sahut Shalihah.
“Kalau aku melihatnya dari sisi lain. Hubungan antara doa atau harapan dengan kenyataan, terkadang diliputi misteri yang tak terpahami. Setiap Jum’at sepanjang hidup, umat Islam berdoa Li ‘issil Islam wal-muslimien (demi kejayaan Islam dan umat Islam), namun kenyataan berbicara lain. Sampai detik ini umat Islam tidak jaya-jaya, malah seringkali mereka menjadi permainan negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Eropa. Mereka tidak mampu berdiri di kaki sendiri dalam upaya menentukan berbagai kebijakan menyangkut masyarakat luas.”
“Kejayaan Islam tinggal impian di siang bolong, yang tak pernah mampu diwujudkan dalam kenyataan riil. Apa penyebabnya? Mengapa hal ini sampai terjadi? Langkah apa yang harus dilakukan? Bagaimana seharusnya umat Islam bersikap pada depan? Adalah berbagai bentuk pertanyaan yang senantiasa berjejer di pemikiran cendikiawan muslim, tanpa pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sebab berbagai kelompok yang ada dalam Islam akan menjawab dengan paradigma masing-masing, yang terkadang saling berseberangan, dan tidak menutup kemungkinan untuk bertengkar menyangkut masalah sepele. Titik temu dari keanekaragaman jawaban tidak pernah mampu diejawantahkan dalam tindakan nyata.”
“Aku setuju pendapatmu. Kita sebagai penduduk Indonesia yang mayoritas muslim tidak menunjukan penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Malah tingkah laku kita menjauh darinya, sehingga dalam krisis ini, kita tidak mampu mengatasinya.”
“Wakil rakyat sibuk berdebat tentang undang-undang yang sama sekali tidak menyentuh rakyat kecil. Di balik layar mereka menyibukkan diri untuk menjarah uang rakyat lewat kerja sama tingkat tinggi dengan para pejabat.”
“Pemerintah terkesan lamban merespon berbagai permasalahan yang mucul di tengah-tengah masyarakat, seperti; banjir, kebakaran, kekeringan, gagal panen, dan melemahnya daya beli masyarakat.”
“Ini diperparah dengan krisis kepemimpinan. Sangat jarang ditemui pemimpin yang membela rakyat tanpa pamrih, bahkan bisa dibilang mustahil. Semuanya berorientasi pada uang dan kekuasaan.”


“Ya, betul. Rakyat kebingungan tidak tahu siapa yang mesti dijadikan suri tauladan. Orang-orang yang dianggap menjadi tokoh panutan bertingkah laku seperti orang awam, tidak malu “mencuri” di siang bolong, bertindak demi kepentingan diri, dan ramai-ramai berlomba meraih kekuasaan.”
“Kenapa pembicaraan kita jadi ngawur begini?” Safitri yang lebih banyak diam, menyela pembicaraan.
“Dalam kengawuran terdapat keteraturan, keteraturan perwujudan kengawuran yang samar, kebenaran menyimpan kesalahan yang tertunda, kesalahan menyimpan kebenaran yang tertunda, kegilaan hadir sebagai puncak kecerdasan manusia bebas, dan meta narasi mengalami perombakan ulang, itulah ajaran postmodern.”
“Pembicaraanmu semakin tidak menentu, kak Jefri. Aku jadi bingung.”
“Dengan memahami kebingungan berarti kau hakekatnya tidak bingung.”
Tanpa terasa adzan Magrib berkumandang, mereka yang terlalu asyik mengobrol menjadi kelabakan, terutama Jefri yang memiliki tugas mengajar anak-anak.
“Karena keasyikan ngomong lupa waktu, kami permisi dulu. Nanti disambung lain waktu.” Mereka berpamitan pulang, Jefri bersiap-siap menuju Mushalla.
Sepulang Mushalla, badan terasa pegal, leher sulit digerakkan dan kaki penat sekali. Rasa capek benar-benar mendera hari itu.
“Ci luu ba ....” Ainun bermain petak umpet sendirian, dia bersembunyi di bawah ranjang, sesekali mengangkat kepalanya, lantas menyembunyikan kembali. Rasa lelah membuatnya tidak bergairah menghadapi kegilaan.
Seandainya yang ada di hadapannya adalah Shalihah, gadis berlesung pipit, yang bisa menghibur dirinya. Dia bisa bersenda gurau, bercengkrama, dan saling berbagi kesenangan sebagai pelampiasan rasa lelah, stres, dan capek. Tapi Ainun bukan Shalihah, dia seorang gadis gila yang dinikahinya.
“Ci luu ba ....” Dari sikap Ainun, Jefri mengerti bahwa dia mengajak bermain seperti biasa, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Melihat dirinya tidak bereaksi Ainun menarik sprey dan melempar sekenanya.
“Aku capek tahu!” bentak Jefri. Ainun terdiam beberapa saat, duduk di lantai, menangis sesungukan. Dia menyembunyikan mukanya di antara dua lututnya. Jefri tidak mempedulikan, melangkah keluar kamar.
“Nek, tolong temani cucumu. Aku capek sekali hari ini.” Tanpa banyak komentar nenek melangkah ke dalam mendapati cucunya menangis, dia mendekat. Melihat kedatangannya Ainun beringsut pergi. Nenek mencoba lagi, Ainun beringsut menjauh. Berulangkali terjadi, membuat nenek hanya memperhatikan dari jarak agak jauh. Dia paham, dalam keadaan begini tidak mungkin menyalahkan Jefri, dia telah mengorbankan seluruh energi yang dimiliki. Ada saat dia membutuhkan istirahat.
Sementara dalam sudut hati yang lain, nenek itu mengakui bahwa mungkin karena kehadiran gadis-gadis itu. Sepengetahuannya tidak pernah Jefri membentak cucunya, baru hari ini dia melakukannya. Bisa jadi salah seorang di antara mereka menarik perhatiannya, dan dia berusaha mengerti, mengingat besarnya pengorbanannya demi kesembuhan cucunya. Anaknya saja hanya sesekali muncul menengok.
Jefri memandangi langit-langit kamar, bayang-bayang kejadian tadi lewat di depan pelupuk mata. “Apa yang telah kulakukan?” Selama ini tidak pernah memarahi Ainun, apapun yang dilakukan dihadapi dengan tabah. Namun kenapa dia tadi bisa marah?
Marah merupakan naluri dasar manusia yang hadir bergantian dengan sikap sabar. Kemarahan yang tak terlampiaskan dalam tindakan; membentak, melengkingkan suara, memukul sesuatu, menggebrak meja dan mengkerutkan dahi, biasnya akan melahirkan bara yang akan meletus dalam suatu tindakan brutal. Bentuk kemarahannya sebagai pelampiasan, tertahannya emosi dalam dirinya yang tumpah bersamaan dengan rasa lelah. Benarkah karena ini, atau disebabkan kehadiran Shalihah.
Lesung pipit terpambang jelas dalam balutan wajah bulat telur yang sangat disukainya. Bayang-bayang Shalihah menari-nari di pelupuk matanya, tersenyum indah, dan suaranya yang lembut seperti lantunan melodi indah, benar-benar melelapkan.
“Kak Jefri, kapan melamarku?”
“Aku tidak tahu.”
“Aku tidak mau menjadi bayang-bayang Ainun. Aku ingin menjadi istrimu. Tidak peduli istri pertama atau kedua. Dengan kegilaannya akulah calon istrimu yang hakiki.”
“Aku tidak mungkin berpoligami.”
“Untukmu yang beristrikan orang gila, poligami justru dianjurkan. Sebab perkawinanmu hanya maya melaka, bukan kenyataan yang benar-benar hadir di hadapanmu. Aku adalah kenyataan, kenyataan adalah aku.”
“Relakah kau dimadu?”
“Kalau dimadu dengan sesama orang waras tidak mungkin, tapi dimadu dengan Ainun perempuan manapun yang mendambakan lelaki setia, mengabdikan diri pada masyarakat, dan rela mengorbankan diri demi kekasih, pasti tidak akan menolakmu.”
“Wajahku tidak tampan.”
“Ketampanan, bentuk tubuh yang bagus dan kesempurnaan fisik hanya topeng yang tidak pernah abadi. Rekayasa teknologi yang mampu menghasilkan berbagai operasi palstik, semakin menunjukkan hakekat kepalsuan. Ketampanan dari dalam adalah barang langka dalam era yang tidak menentu ini. Aku lebih memilih ketampanan dari dalam hatimu.”
“Baiklah, kita menikah.”
Pesta perkawinan dilaksanakan secara meriah, banyak anggota masyarakat yang hadir. Pertunjukkan ludruk semalam suntuk dari Madura dihadirkan untuk memeriahkan suasana. Orang-orang lebur dalam kegembiraan pesta meriah dan melalui malam dengan tawa berderai.
“Hentikan pernikahan ini!” seorang wanita berdiri di depan pelaminan dengan suara nyaring, secara otomatis sound sistem dimatikan.
“Kau Ainun.”
“Dasar laki-laki pengkhianat. Kau buat aku gila, lantas kau tinggalkan begitu saja. Mana hati nuranimu, pengkhianat!”
“Dia seorang pengkhianat,” orang yang hadir ikut berteriak.
“Pengkhianat .....!”
“Tidaaaak ..... Gdbuk!” Jefri terbangun dari mimpi, nafas turun naik, dan punggungnya terasa sakit. Dia terduduk beberapa saat merenungkan mimpinya. Mungkin hanya bunga tidur, ujarnya dalam hati.
Mimpi itu menghantuinya kemanapun dia berada, saat menamani Ainun, pergi ke sawah, duduk termenung sendirian di pinggir sawah sehabis bekerja.
Dengan memandangi hamparan sawah yang luas, pohon-pohon berdiri dari sudut yang tidak beraturan, angin berhembus agak kencang menembus kulit tubuhnya, sinar matahari bersinar di antara awan-awan yang berseliweran di angkasa, dia bisa melupakan sejenak.
“Tumben merenung?”
“Kau Shalihah. Mana temanmu?”
“Dewi dan Safitri telah kembali ke kampusnya.”
“Kau kapan balik?”
“Kau lupa, ya. Aku sudah menyelesaikan kuliahku, tinggal memikirkan masa depanku.”
“Sorry, aku benar-benar lupa. Apa rencanamu?”
“Aku berpikir untuk mengabdikan hidup di desa sepertimu. Kau setuju?”
“Jangan deh! Banyak dukanya dari pada sukanya.”
“Itulah seni hidup.”
“Maksudmu?”
“Ada orang yang ingin menjadikan kebahagian yang terwujud dalam kesenangan sebagai tujuan, ada orang yang menjalani hidup apa adanya tanpa tujuan, ada orang yang berupaya menghalalkan segala cara agar bahagia di atas penderitaan orang lain, dan ada orang hidup yang menyukai tantangan dengan resiko duka akan lebih banyak hadir dari rasa senang, seperti yang dialamimu. Aku termasuk dalam jenis yang terakhir.”
“Eman, nanti kemampuan tidak bisa terasah dengan baik di desa ini.”
“Bagaimana denganmu?”
“Kasusku berbeda. Aku ditaqdirkan untuk beristrikan orang gila, lantas agar bisa mengaktualisasi diri, aku mengisi kekosongan dengan mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat.”
“Justru karena itu segala tindakan yang kau lakukan menjadi tanpa pamrih. Sekarang sulit menemui sikap ikhlas tanpa pamrih sepertimu, bahasa orang sekarang adalah kepentingan dan uang, dua hal yang bertolak belakang dengan wacana keikhlasan.”
“Kau pikirkan sekali lagi, jangan terburu-buru membuat keputusan.”
“Aku memikirkan hal ini sejak lama. Hanya dulu aku ragu, karena sebagai wanita aku merasa kesulitan untuk membuat perubahan di tengah-tengah masyarakat, untung kau memulai, jadi aku tinggal meneruskan usahamu. Sesuatu yang tidak sulit bukan?”
“Mudah dalam perkataan, sulit dalam tindakan. Kau buktikan saja sendiri.”
“Kuyakin kau pasti membantuku.”
“Tentu, Nona.” Shalihah berpaling menatap wajah Jefri, dia juga sama. Dua pandangan bertemu, gemuruh di dada bergelora, dua hati bersenandung lirih, menyanyikan getar cinta yang hadir.
“Yaaaan! Makanan telah siap.” Jefri salah tingkah mendengar panggilan, dia berdiri.
“Ikut aku makan, yuk!”
“Tidak, thank’s. Aku pulang dulu, nanti dicari ibu.” Jefri berlari menuju sawah milik neneknya, karena tergesa-gesa, dia terpeleset. Orang-orang yang melihatnya tidak dapat menahan tawa.
Semenjak ada komitmen dari Shalihah, dia mulai rajin membantu mengajar mengaji di mushalla bersama Jefri. Dengan dibantu Shalihah, proses belajar mengaji lebih mampu diserap dengan cepat, sehingga murid-murid bertambah banyak.
“Alangkah lebih baik, kalau mengaji dilakukan sore hari,” anak-anak telah pulang ke rumah masing-masing.
“Tidak masalah pulang habis Magrib.”
“Waktu pembelajaran terlampau sempit, padahal muridnya sekarang sekitar dua puluh orang. Dalam kelas sore, kita bisa mengajarkan anak-anak materi tambahan yang bermanfaat baginya kelak.”
“Berarti kita mengajarkan anak-anak sistem klasikal menggunakan metode Qiro’ati, seperti yang ada di TPA-TPA.”
“Seharusnya memang begitu.”
“Banyak hal yang harus dipersiapkan; tempat, buku Qiroati, dan persetujuan orang tua mereka.”
“Masalah tempat gampang, mushalla ini bisa kita skat menjadi dua bagian. Buku Qiro’ati sudah kupersiapkan semenjak dari pondok begitu mendengar ada orang yang mengabdikan hidupnya di desa ini, sedang persetujuan orang tua, kita musyawarahkan tiga hari lagi, sambil mempersiapkan beberapa hal yang diperlukan.”
“Oke, tuan putri. Aku setuju,” muka Shalihah merona merah.
“Shalihah, waktunya pulang,” suara seorang wanita setengah tua dari belakang yang merupakan ibu Shalihah.
“Baik, Mak. Aku pulang dulu.” Jefri menatap kepergian Shalihah dengan pandangan mata antara harapan dan kenyataan, yang seringkali tidak berjalan beriringan. Maka dalam menjalani kehidupan, dia berusaha membuang harapan-harapan yang muluk-muluk agar tidak tidak terjebak dalam kesedihan.
“Perkumpulan kita hari ini, ingin membahas rencana pembentukan Taman Pendidikan Al-Qur’an yang sederhana di desa ini. Untuk penjelasan lebih lanjut sepenuhnya kuserahkan pada Shalihah. Silahkan!”
“Anak-anak yang mengaji pada kami sekitar 20 orang sekarang, suatu jumlah yang cukup memadai untuk dikelola dengan baik. Salah satu bentuk pengelolaannya adalah dengan membentuk TPA atau Taman Pendidikan Al-Qur’an. Jadi anak-anak berangkat mengaji pada pukul 14.30 WIB sore hari, dan pulang ke rumahnya 16.30 WIB. Buku yang digunakan adalah metode Qiroati yang terbukti berhasil menjadikan anak-anak bisa mengaji dengan cepat dan lancar. Ini berhasil bila ....”
“Nanti ada iuarannya,” celetuk sesorang.
“Kalau membayar kami tidak bersedia.’
“Ya, betul...” Suara saling sahut-sahut membuat suasana agak gaduh.
“Hadirin dimohon tenang sejenak,” suara Jefri yang berwibaya bisa menenangkan suasana. “Dalam pembukaan disebutkan, kita hendak membentuk TPA sederhana, yang berarti tidak ada pembayaran iuran. Anak-anak bisa belajar dengan gratis, untuk buku Qiroati telah disediakan Shalihah, hal lain aku bisa meminta bantuan mertuaku atau nenekku.”
“Perlu ditambahkan, dengan adanya kelas sore, anak-anak tidak hanya belajar mengaji, tapi bisa belajar pelajaran adab sopan santun, Tajwid, Bahasa Arab sehari-hari, dan membaca dalam bahasa Indonesia.”
“Wah, kalau begiku, kita setujui. Bagaimana?”
“Setujuuuuu!” Rapat berakhir dengan hasil menggembirakan. Keesokan hari anak-anak mulai mengaji sore hari. Sesuatu yang baru biasanya menimbulkan ketertarikan dan antipati, maka anak-anak yang hadir tetap utuh 20 orang. Mereka dibagi dua sepuluh-sepuluh, masing-masing diajarkan oleh Jefri dan Shalihah. Pembagian tugas, materi yang diajarkan dan persiapan lain, berhasil dipersiapkan sebelumnya.
Hubungan antara mereka bertambah akrab, keakraban yang menimbulkan rasa tidak senang pada seorang pemuda desa yang bernama Sutikno, yang sejak lama memendam harapan pada gadis itu.
“Tikno, nampaknya kau kalah saing sekarang,” Marsam menegur Sutikno di warung kopi.
“Siapa yang kalah saing?”
“Jangan berbohong! Semua orang di desa ini tahu bahwa kau naksir Shalihah. Sebelum kehadiran Jefri, kaulah teman akrab gadis itu, sampai timbul kasak kusuk bahwa kalian hendak dijodohkan. Sekarang kau bisa patah arang bila membiarkan mereka semakin akrab.”
“Mereka berteman saja.”
“Awalnya teman, lama ke lamaan menjadi temin. Ha ha ha.” Sebentuk perasaan panas membara di hati.
“Aku lebih tampan darinya, tidak perlu takut untuk bersaing.”
“Kau harus ingat, Shalihah adalah seorang gadis pondok yang tidak melihat ketampanan sebagai sarana utama menbina hidup bersama. Dia lebih melihat karya nyata dan pengabdian pada masyarakat untuk mendapatkan pasangannya.”
“Bukankah Jefri sudah beristri?”
“Dia beristri atau tidak beristri sama saja. Sebab istrinya gila.”
“Shalihah mustahil bersedia dimadu.”
“Kau ini berpikirnya masih kuno. Kutanya padamu, apakah kau pernah menyatakan cinta pada Shalihah?”
“Per...nah, ta...pi ditolak.”
“Itulah masalahnya, dia masih membuka diri pada lelaki lain, termasuk pada Jefri. Apalagi dia cerdas, pintar ceramah, dan dainggap salah seorang tokoh masyarakat. Sedang kamu?” Hati bertambah panas.
“Jalan keluarnya adalah, kau secepatnya melamar dia. Kalau ditolak itu tandanya dia mengharapkan Jefri, bukan dirimu.” Sutikno merenung beberapa saat, keningnya berkerut menunjukkan dia berpikir keras mendapatkan jalan terbaik bagi masa depannya. Dengan mengetahui jawaban dari lamaran, akan terbuka tabir ke mana hati Shalihah berlabuh pada dirinya atau Jefri.
Berbekal keyakinan ini, Sutikno mempengaruhi kedua orang tuanya untuk melamar Shalihah. Mereka senang dengan pilihan anaknya, maka tidak menunggu waktu lama untuk pergi melamar gadis itu.
“Sekarang perubahan waktu berlangsung cepat. Kalau dulu anak muda di desa sekalipun untuk mendapatkan jodohnya lewat paksaan orang tua, kini hal itu tidak memungkinkan lagi. Anak bebas memilih dalam menentukan pasangan hidup yang terbaik bagi mereka, kami hanya bisa memberikan saran agar dia tidak salah pilih,” tanggapan ayah Shalihah menghadapi lamaran orang tua Sutikno.
“Tidak bisa begitu,” sahut Maryam, ibu Sutikno. “Kita adalah orang tua yang memiliki hak untuk menentukan jodoh yang pantas bagi anak kita. Sebab orang tua lebih berpengalaman dari anaknya.”
“Mohon maaf, pandangan kami berbeda. Inti permasalahannya adalah kami memasrahkan pada anak kami untuk memilih pemuda yang cocok sebagai pasangan hidupnya. Tunggu sebentar, aku hendak memanggil Shalihah. Shalihaaah! Kemari sebentar.” Selang beberapa lama muncul Shalihah.
“Oh, Bapak dan Ibu. Apa kabar?” Dia telah mengenal keluarga Sutikno, sebab persahabatannya dengan pemuda itu cukup lama juga sebelum masuk pesantren.
“Alhamdulillah, baik.”
“Duduk sini, Shalihah! Ada hal penting yang ingin ayah sampaikan,” Shalihah duduk di samping ibunya.
“Katakan saja tidak usah sungkan!”
“Kedua orang tua Sutikno datang ke sini untuk melamarmu menjadi istrinya. Bagaimana pendapatmu?” Shalihah terhenyak di kursi, dia tidak menyangka kedatangan mereka untuk melamarnya. Dia diam seribu bahasa tak mampu mengatakan apa-apa. Dalam otaknya, bayang-bayang Sutikno bergantian dengan Jefri, berlari cepat sulit dihentikan.
“Kenapa diam, Nduk?”
“Hhhhmmm,” Shalihah menarik nafas dalam-dalam. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi mulut terkunci rapat. Semua orang yang hadir nampak tegang sekali, termasuk Sutikno yang semanjak datang tidak mengatakan apa-apa.
“Mungkin kau perlu waktu untuk berpikir, tidak mesti menjawab sekarang.”
“Boleh aku meminta waktu untuk berpikir? Tidak mungkin menentukan pilihan yang tergesa-gesa menyangkut masa depanku.”
“Kami memberimu waktu, nanti kalau sudah ada jawaban, kalian bisa mengutus orang ke rumahku, atau kami datang lagi ke sini seminggu lagi, misalnya.”
“Tidak, biar kami yang memberi jawaban ke sana,” sergah Shalihah cepat.
“Baiklah! Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!” Sepeninggal keluarga Sutikno, suasana di rumah Shalihah nampak hening, mereka terbawa imajinasi masing-masing. Dalam keluarganya ditanamkan sikap yang bijaksana guna menentukan pilihan sesuatu, termasuk ketika Shalihah memutuskan kuliah sambil pondok dari pada kuliah di UI, UGM atau UNAIR.
“Menurutku, kau sebaiknya menerima Sutikno. Dia pemuda yang baik, kalian bersahabat cukup akrab sebelumnya,” ibunya memberikan pendapat pertama kali.
“Aku juga demikian, Bu. Berdasarkan cerita yang kudengar dari mulut ke mulut, banyak gadis yang ditawarkan orang tuanya padanya, tapi dia menolak, salah satu alasannya menunggu kedatangan anak kita yang mondok.”
“Boleh aku berkata jujur?”
“Itu harus kau lakukan.”
“Dulu aku memang mengharapkan Sutikno menjadi suamiku, aku tahu banyak tentang dirinya, namun ... ,” diam sesaat. “Semenjak kukenal Jefri pemikiranku berubah. Aku kagum pada pemuda itu. Dia benar-benar pemuda yang hebat.”
“Kagum bukan berarti cinta. Bisa saja kita mengagumi sesuatu yang dianggap menarik perhatian, orang yang berbuat baik, ketulusan, pengabdian, namun ini sebatas rasa kagum.”
“Awalnya sebatas rasa kagum, kini rasa kagum itu berubah menjadi sesuatu yang tak terkatakan. Aku selalu merindukan berada di sampingnya. Saat-saat membimbing anak-anak mengaji bersamanya, aku merasa senang sekali.”
“Kau tahu keadannya melebihi pengetahuan kami. Jika sekedar cinta buta, sebaiknya kau urungkan.”
“Kalian tahu bahwa aku paling selektif memilih pasangan, sehingga sewaktu SMU tidak sempat pacaran, hanya bersahabat dengan Sutikno. Lelaki seperti Jefri adalah impianku, lelaki yang mengorbakan diri demi cintanya dan pengabdian yang tulus pada masyarakat. Benar-benar tiada duanya.”
“Jika kau punya pilihan sendiri, kenapa tidak menolaknya terang-terangan?”
“Ini masalahnya. Aku belum tahu perasaan Jefri padaku, kami tidak pernah bercakap-cakap masalah pribadi. Lagian aku tidak ingin menyakiti Sutikno.”
“Pemikiranmu dalam alur yang benar, anakku. Satu hal perlu kau pertimbangkan bahwa pemuda seperti Jefri yang rela mengawini kekasihnya sebelum gila, berarti memiliki berbagai pertimbangan matang bahwa wanita itulah jalan hidupnya sampai mati. Sulit baginya untuk berpaling pada wanita lain.”
“Tidak mungkin begitu.”
“Mungkin saja. Dia bisa memilih gadis yang lebih cantik darinya dengan kecerdasan yang dimiliki, bakat yang luar biasa, dan pengorbanannya yang besar. Ini harus kau pertimbangkan.”
“Aku pusing. Aku ingin istirahat dulu,” berdiri melangkah menuju kamarnya. Dia menjatuhkan tubuhnya di kasur, bayang-bayang yang bermacam-macam berputar-putar di hadapannya.
Sewaktu mengajar anak-anak mengaji, kini tidak membuat Shalihah tenang, berulangkali dia mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Jefri tentang lamaran Sutikno dan perasaannya yang tak bisa dibendung. Sebagai anak pondok, sungkan rasanya mengungkapkan perasaan terlebih dahulu, meski dalam berbagai literatur yang dibacanya, zaman edan ini telah memungkin wanita mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Bahkan banyak lelaki yang berubah fungsi menjadi “ibu rumah tangga” manakala istrinya banting tulang bekerja.
Kesempatan itu datang juga. Pada hari Minggu, anak-anak libur mengaji, dia berjalan menuju sawah, siapa tahu bertemu dengan Jefri. Perkiraannya ternyata benar, Jefri sedang duduk santai memperhatikan buruh tani bekerja di sawah neneknya.
“Yaaan!” panggil Shalihah, Jefri menoleh. Dia membalikkan badan, melangkah ke hadapannya.
“Ada perlu apa kau memanggilku?”
“Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Tentang apa?” Mata Shalihah menatap lurus ke depan, dalam benaknya beragam persoalan muncul, tak tahu harus dimulai dari mana. “Kok malah diam?”
“Aku bingung.”
“Aku tidak mengetahui kebingunganmu, jika tidak kau sampaikan.”
“Bagaimana, ya?” Ungkapan lirih seperti pada diri sendiri. “Tikno melamarku,” kata-kata yang keluar dari mulu Shalihah mengagetkan Jefri, tapi dia berusaha bersikap tenang.
“Kau menyukainya?” Shalihah menggelengkan kepala, ada perasaan lega dalam diri Jefri. “Kenapa tidak kau tolak?”
“Karena aku belum mendapatkan kepastian dari orang yang kucintai.”
“Itu berarti kau mencintai lelaki lain.”
“Ya, benar. Sayang sampai detik ini aku tidak mengetahui perasaannya padaku.”
“Apa antara kalian dipisahkan jarak yang jauh?”
“Tidak, kami sangat dekat sekali. Bahkan selalu bersama-sama. Dalam kedekatan ada jarak yang memisahkan kami. Dalam kebersamaan ada tabir pembatas antara kami.”
“Lelaki itu pemalu barangkali, sehingga tidak berani menyatakan perasaannya.”
“Kami tidak punya kesempatan membicarakan masalah pribadi,” Jefri mulai menebak-nebak arah pembicaraan Shalihah. Mungkinkah yang dimaksud adalah dirinya? Selama ini mereka disibukkan mengurus TPA baru yang dibentuk bersama, membantu anak-anak desa belajar mengaji dan merintis lembaga TK Islam sederhana di desa.
“Keadaan sekarang membolehkan wanita menyampaikan perasaannya duluan,” pancing Jefri.
“Sungguh?” Jefri menganggukkan kepala. “Tahukah kau siapa lelaki yang kuharapkan?”
“Tidak tahu.”
“Kau tahu, namun pura-pura tidak tahu,” diam sesaat. “Lelaki itu adalah ...kau,” walau bisa menebaknya sedari awal, dia tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
“Kau jangan bercanda.”
“Aku bersungguh-sungguh,” kini giliran Jefri yang kebingungan. Harus diakui dalam lubuk hatinya yang paling dalam, tersimpan keinginan untuk memilki Shalihah. Seorang gadis cantik dengan lesung pipitnya, dedikasinya luar biasa dan baik hati, dia tidak mendapatkan cela dalam dirinya. Bagaimana dengan Ainun?
Pertanyaan bagaimana, menghantam lerung-lerung imajinasi, menghujam pemikirannya dan menghadirkan sejuta kenangan yang selama ini dialami. Kenang-kenangan bersatunya dengan Ainun, mereka berpisah, Ainun gila, dia stres menghadapi kenyataan itu, memutuskan menikahinya, dan membawanya ke desa ini untuk menyembuhkannya, saling bergantian hadir dalam benaknya. Banyak pengorbanan yang dilakukan demi kesembuhannya, tapi tidak sembuh-sembuh juga. Dan kini gadis yang memiliki kelebihan yang lebih sempurna darinya hadir menawarkan cinta, haruskah ditolak?
“Mengapa membisu?”
“Aku tidak mengerti harus menjawab apa?”
“Katakan saja yang menjadi suara hatimu, aku siap mendengarkan apapun yang ingin kau sampaikan.” Jefri menundukkan kepala, tangannya mencabut rumput-rumput di hadapannya. Dia ingin menerima cinta Shalihah, sebab keberadaan gadis itu adalah nyata, sedang Ainun adalah ilusi yang ingin diwujudkan dalam kenyataan. Akankah dia menyia-nyiakan ilusi yang bertahun-tahun dia pertahankan dalam imajinasi, dan dibelanya mati-matian, hanya karena kehadiran Shalihah.
Ketika memutuskan untuk hidup bersama dengan Ainun, dia mengorbankan pekerjaan, hubungan kekeluargaan terputus, dan dia rela menjelmakan diri menjadi orang yang berimajinasi sebagai orang gila agar bisa menemani Ainun dalam kegilaannya. Lantas akankah semua itu akan dikubur begitu saja demi kehadiran Shalihah?
“Tidaaak!” tanpa sadar keluar kata-kata itu dari mulutnya. Dia mendongakkan kepala, Shalihah terperangah.
“Apa....kah itu ja...wa...banmu?”
“Entahlah!” lirih sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Shalihah!”
“Hemmm!”
“Kau memberiku kesempatan untuk berpikir, bukan?”
“Tentu,” ini lebih melegakan dibandingkan kata tidak yang keluar dari mulutnya.
“Aku mau pulang. Kupertimbangkan secara matang keputusan yang hendak kuambil.” Jefri berdiri, berjalan dengan lunglai di antara jalan setapak di sawah. Dia menoleh ke belakang, Shalihah sudah tidak berada di sana. Dengan sekuat tenaga dia berlari sekencang-kencangnya menuju rumah neneknya. Ya, dia ingin segera bertemu Ainun, cintanya.
“Hheh heh heh,” nafas keluar cepat tanpa irama, keringat bercucuran, ketika tiba di kamar Ainun, dia membuka pintu mendapatinya sedang menari-nari sendirian. Dia mendekat ikut menari-nari bersama, Ainun tersenyum, dia bahagia mendapatkan senyum itu. Sebenarnya banyak hal yang ingin diungkapkan pada kekasihnya, tapi akankah dia mendengar yang dikatakannya sedang dirinya tidak sadar? Dia ingin memeluk erat, bisakah gadis gila itu menerima pelukannya? Dia ingin membelai rambutnya, dia ingin bersimpuh di hadapannya, dia ingin berteriak lantang bahwa cinta tulusnya tidak bisa digagalkan dengan tantangan berupa apapun termasuk Shalihah, meski semua keinginan tinggal keinginan semata. Kehadiran Shalihah yang sempat mengganggu ketulusannya pada Ainun, malah menjadi motivasi yang memperkuat keutuhan cintanya pada gadis itu. Biarlah orang-orang mengejar kesenangan, kebahagian, dan pemuasan nafsu, dia ingin mengejar cinta tulusnya sampai ke ujung mana batas kesabarannya mampu membimbing dirinya menjalani kehidupan di masa mendatang. Dia ingin menjadi pengabdi kemulyaan cinta.
Jefri berangkat untuk mengajar anak-anak, dia berjalan melewati pekuburan yang sepi. Jarak antara rumahnya dengan mushalla tidak terlalu jauh sekitar empat ratus meter, yang membuat tampak jauh karena memutar melewati pekuburan. Tidak mungkin mencapainya dengan mobil, paling banter di tempuh dengan sepeda motor.
Dari belakang suara sepeda motor mendekat ke arahnya, dia melangkah ke pinggir, tapi tiga sepeda motor berhenti di hadapannya. Dia mengenal enam pemuda itu sebagai pemuda desa yang suka nongkrong di pinggir jalan.
“Wah, Pak Ustad baru berangkat rupanya,” sapa salah seorang pemuda. Mereka turun dari motornya, berdiri mengelilingi Jefri, perasaan khawatir menyeliputinya. Dia berusaha bersikap tenang.
“Tampangnya tidak seberapa.”
“Aneh, Sutikno bisa kalah saing dengan pemuda ini.”
“Diguna-gunain, kali.”
“Ha ha ha,” mereka tertawa.
“Aku ingin mengajar, tolong beri jalan.”
“Kami akan memberi jalan, asal kau berjanji menjauhi Shalihah.”
“Kami mengajar bersama, mana mungkin bisa menjauh darinya.”
“Kalau begitu, mari kita hajar teman-teman.” Seorang pemuda menendangnya, seorang lagi mengirim pukulan, yang lain ikut menyerang secara bersamaan. Walau memiliki silat dia kewalahan juga, sebuah tendangan menghantam perutnya, dia terjatuh. Mereka hendak menghujani dengan berbagai pukulan, ketika sebuah suara mencegah dari belakang.
“Hentikan!” suara nyaring itu, menghentikan enam pemuda yang hendak mengeroyoknya.
“Tikno,” ujar mereka tidak percaya pada penglihatan sendiri.
“Apa yang kalian lakukan?”
“Kami membantumu agar pemuda ini menjauh dari Shalihah.”
“Dia harus disingkirkan karena mengganggu hubunganmu dengan Shalihah.”
“Kami dipihakmu, sobat.”
“Siapa yang menyuruh kalian?”
“Tidak ada yang menyuruh.”
“Kalian memang brengsek,” bentak Sutikno. “Siapa yang menyuruh kalian mencampuri urusanku? Aku memang telah menceritakan masalahku pada kalian, itu bukan berarti kalian boleh ikut campur sembarangan tanpa seizinku.”
“Kami ingin membantumu.”
“Kalian tidak sedang membantuku, malah menjerumuskanku. Pergi sana!” Mereka melangkah pergi sambil menyimpan amarah.
“Maafkan kekhilafan temanku, Jef!” dia berusaha membantu Jefri berdiri.
“Kau hanya bersandiwara?” selidik Jefri sambi menatap matanya.
“Kau boleh percaya atau tidak. Aku benar-benar tidak menyuruh mereka. Demi Allah! Aku bersumpah tidak pernah menyuruh mereka.” Jefri memandangi Sutikno sekali lagi, dibalas sebuah pandangan yang meyakinkan bahwa dirinya tidak pernah menyuruh mereka.
“Aku yang minta maaf karena berburuk sangka padamu. Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak ...”
“Itu tidak penting,” potong Sutikno. “Banyak hal yang kau lakukan pada desa kami, kami para pemuda desa seharusnya mendukungmu. Memang antara kita ada persoalan yang belum selesai, tapi kepentingan pribadi tidak boleh lebih di kedepankan dibadingkan kepentingan masyarakat.”
“Kau pemuda yang baik.”
Jefri lantas berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Kini dia berkeyakinan bahwa Sutikno merupakan pemuda yang tepat bagi Shalihah, dia harus membimbing Shalihah agar menyadari kehadirannya lebih penting dari dirinya, sehingga dia bisa mencintainya. Di samping karena dia ingin agar cinta tulusnya pada Ainun tetap Abadi sepanjang zaman. Dia ingin dikenang sebagai pecinta sejati yang tanpa pamrih.
Sewaktu proses belajar mengajar sudah selesai, Jefri duduk berhadapan berdua di sekolah.
“Kau ini bagaimana Shalihah?”
“Maksudmu?”
“Kau tidak beres mengajar,” dengan suara ketus. Shalihah tidak percaya dengan sikap aneh Jefri ini. “Kau asyik mengajar privat, sedang yang lain dibiarkan bermain-main di kelas.”
“Apa yang seharusnya kulakukan?” Shalihah ingin memberontak pada kemarahan itu, tapi dia takut melihat ekspresi wajah Jefri yang menyeramkan ketika marah.
“Pakai otakmu dong!” sambil menunjuk jari ke kepalanya. Hati Shalihah tercabik-cabik mendengarkan kata-kata itu. Jefri melangkah pergi dengan tidak menghiraukan Shalihah yang menahan butiran air mata. Kejadian ini tidak hanya berlangsung sekali, dalam berbagai kesempatan Jefri sering marah-marah pada Shalihah tanpa alasan yang jelas.
“Dasar kurang pergaulan!” Ujar Jefri di lain waktu.
“Wajar, dong. Aku selama ini lebih banyak hidup di pesantren.’
“Anak yang kuper contoh sosok yang ketinggalan zaman.” Bentuk kemarahan Jefri mulai memupus perlahan-lahan rasa cinta Shalihah padanya.
Dalam kesempatan berbeda, saat Shalihah berusaha mengajak berbicara tentang pengembangan TPA, dia menunjukkan sikap lembutnya.
“Kita harus mengembangkan pendidikan TPA di desa ini,” usul Shalihah. Mereka sedang santai sehabis mengajar anak-anak, peristiwa kemarahan Jefri berusaha dilupakannya.
“Caranya?”
“Kita dituntut untuk menggalang dana demi membangun minimal tiga lokal kelas di samping mushalla, sehingga pengelolaan siswa di kelas lebih efektif.”
“Dari mana dananya?”
“Kita berupaya sendiri.”
“Jika demikian, kita harus membuat kepungurusan untuk pembangunan Mushalla ini dengan melibatkan banyak orang, seperti Sutikno di kalangan genarasi muda dan orang-orang yang selama ini membantu kita di mushalla, dan empat orang pengurus inti mushalla.”
“Itu bagus.” Secara singkat mereka memanggil orang-orang yang selama ini membantu keberlangsungan mushalla, diadakan rapat untuk mencarian dana. Setiap orang memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri untuk wilayah tertentu. Dalam sebulan ke depan diharapkan berkumpul kembali untuk menyetorkan hasil yang diperoleh. Sutikno nampak antusias, sesuatu yang diharapkan Jefri.
“Hallo, Papa ada, Ma?”
“Ada. Kusambungkan dengan ponselnya, ya?”
“Baiklah, Ma.”
“Hallo, Jefri, ya?”
“Ya, Pa.”
“Tumben menelpon.”
“Anu, Pa. Di desa ini sedang diupayakan untuk membangun tiga lokal kelas agar anak bisa mengaji sambil sekolah di TPA yang beberapa waktu lalu kami bentuk. Apa papa bisa membantu?”
“Berapa dana yang dibutuhkan?”
“Sekitar 150 juta.”
“Baik, nanti kukirimkan uangnya.”
“Jadi, Papa setuju.”
“Untukmu apapun yang diminta akan dikabulkan.”
“Terima kasih, Pa. Semoga Allah membalas jasamu.”
“Kau, juga.” Masalah dana bisa diselesaikan berkat uluran tangan dari mertua Jefri. Menjelang rapat sebulan kemudian Jefri memanggil Sutikno ke rumahnya.
“Dapat berapa kau Tikno?”
“Baru seratus ribu rupiah.”
“Aku mendapatkan bantuan uang sebesar 150 juta rupiah dari mertuaku. Aku ingin agar uang ini kau yang menyerahkan saat rapat nanti, sehingga kau semakin menunjukkan dirimu pada Shalihah.”
“Aku tidak mau melakukannya.”
“Harus. Bukankah kau menginginkan Shalihah menjadi istrimu?”
“Ingin sih ingin, tapi...”
“Tidak perlu membantah lagi. Nanti ketika rapat, kau nyatakan bahwa kau berhasil mempengaruhi seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya untuk menyumbangkan uang sebesar yang telah disebutkan tadi. Sedang aku hanya dapat mengumpulkan seratus ribu rupiah. Baru pada peresmian mushalla, setelah kau berhasil meraih hati Shalihah, kita buka kartu yang sebenarnya. Bagaimana?”
“Terserah padamu saja,” Sutikno gembira sekali.
Dalam rapat yang dilaksanakan di mushalla, orang-orang yang hadir kaget melihat sejumlah uang yang berhasil “dikumpulkan” Sutikno. Ada rona kebanggaan dari raut wajah Shalihah, senyum Jefri, dan Sutikno yang sedikit gugup dengan rekayasa itu. Sehingga pembangunan tiga lokal kelas di samping mushalla dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat.
Dalam kesibukan membangun tiga lokal kelas, Jefri mendengar kabar bahwa Marsam, musuhnya di desa jatuh sakit. Dengan ditemani Sutikno dia pergi menjenguknya. Dia berprinsip semakin banyak teman semakin baik, mengurangi musuh lebih baik lagi. Sutikno yang awalnya tidak setuju, manut saja mengikuti pemuda itu yang benar-benar dikaguminya setelah mereka bersahabat akrab.
Melihat kehadirannya, Marsam blingsatan, dia ingin duduk, tapi tubuhnya terasa ngilu semua. Jefri duduk di pingir tempat tidur.
“Sejak kapan sakitnya, Bu?”
“Dua hari yang lalu, Ustad.”
“Sudah dibawa ke dokter?”
“Kami tidak punya uang.”
“Kau bisa membawa mobil, Tikno?”
“Bisa.”
“Bawa mobil Baleno di rumah nenek ke mari, kita bawa Bapak Marsam ke Puskemas terdekat.” Sutikno keluar dari rumah Marsam menuju rumah nenek Jefri.
“Us...tad ba...ik sekali,” suara Marsam gemetar. Berbagai perasaan bercampur aduk dalam dirinya. Dia tidak mempercayai apa yang ada di hadapannya kini, seseorang yang dengan segala cara berusaha disingkirkan dari desa, justru menjadi dewa penolongnya saat dirinya dalam kesulitan.
“Bapak tidak usah banyak berrbicara, istirahat saja!” Jefri membaringkan tubuh Marsam sambil menunggu kedatangan temannya.
“Tuuuuuut!” Bunyi klakson mobil.
“Tikno, kemari sebentar!” Sutikno memasuki rumah Marsam.
“Mari kita angkat Bapak Marsam ke mobil,” mereka mengangkat tubunya bersama-sama. Marsam tak kuasa menahan air mata haru. Ketika penduduk sekitarnya tidak mempedulikan dirinya yang terkenal dengan berbagai tabiat buruknya, terutama permusuhannya dengan Jefri, justru musuhnya yang datang menolong. Pikirannya buntu tidak dapat digunakan lagi.
Marsam dirawat di Puskesmas selama tiga hari, biaya pengobatan ditanggung Jefri semua. Setelah agak pulih, dia dibawa pulang ke rumahnya kembali.
“Entah apa yang harus kukatakan?” ujar Marsam sesampainya di rumah.
“Bapak tidak harus mengatakan apapun, paling penting cepat sembuh seperti sedia kala.”
“Kau bukan manusia, ustad.”
“Tidak perlu berlebihan. Aku melakukan yang seharusnya kulakukan.”
“Aku berjanji mulai detik ini akan mengabdikan hidup padamu.”
“Salah, bukan mengabdikan hidup padaku, namun pada masyarakat desa ini. Kita bisa membangun desa ini bersama-sama. Bapak punya bakat menjadi kepala keamanan di desa, khususnya mushalla dan TPA yang kami bangun.”
“Apapun yang kau katakan, aku patuhi.” Jefri berhasil berhasil menangani musuhnya dengan baik, dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi. Tinggal sebuah persoalan yang belum diselesaikan. Yakni masalahnya dengan Shalihah.
Beberapa hari kemudian Shalihah berkunjung ke rumahnya. Jefri yakin bahwa ini tentang masalah mereka berdua.
“Kak Jefri, hampir dua bulan aku menunggu jawabanmu tentang perasaanmu padaku. Boleh kutagih sekarang?”
“Jawaban apa yang kau harapkan?” balik bertanya, Shalihah menjadi rikuh.
“Semenjak pembicaraan tentang masalah pribadi antara kita, Kak Jefri berubah.”
“Kau belum mengenalku seutuhnya. Bisa jadi cintamu padaku sebatas rasa kagum, bukan cinta tulus yang hadir dari lubuk hati yang paling dalam.”
“Aku tulus.”
“Jika tulus kau mau menerima sifatku yang pemarah, egois dan keras kepala, sudah beristri pula. Apa kau sanggup?” Shalihah terdiam, bayang-bayang sosok Jefri yang menyeramkan hadir mengganggu tidur malamnya selama ini. Bentuk kemarahannya, membuat dirinya ketakutan. Bagaimana seandainya mereka hidup bersama? Dia mungkin dimarahi setiap hari, suatu kehidupan yang tidak diinginkan. Sedang Sutikno yang sabar, tidak pernah memarahinya.
“Kau tidak akan sanggup. Maka kuanjurkan padamu untuk menerima lamaran Tikno, dia pemuda yang baik, membantu kita dalam mengembangkan TPA, bahkan berkat jasanya tiada beberapa lagi desa ini memiliki tiga lokal kelas.”
“Kau bagaimana?”
“Aku bisa menjalani kehidupanku seperti sebelum kau hadir di sisiku. Hidup bersama ilusi yang kubangun bersama istriku Shalihah. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”
“Baiklah kalau begitu! Semoga kakak bahagia dengan Ainun.” Salihah melangkah pergi.
Tiga hari kemudian, Jefri mendengar kabar bahwa lamaran Sutikno diterima. Dia berhasil memberikan pilihan yang tepat pada Shalihah, sahabat karibnya yang sempat mengganggu kesetiannya, dan dia sendiri tetap menjalani kehidupan dalam dunia yang diciptakannya sendiri bersama Ainun. Dalam sudut hatinya yang lain dia menyesali apa yang telah dilakukannya, karena dia dianggap membuang kesempatan emas di depan mata. Namun keputusan yang diambil tidak perlu disesali. Baginya, cinta adalah sebentuk pengorbanan tulus yang tidak membutuhkan penyesalan. Malah dia mensyukuri kejadian ini, dia bisa lebih konsentrasi pada penyelesaian pembangunan tiga lokal kelas.
Warga masyarakat bekerja bakti untuk menyelesaikan tiga lokal kelas TPA, sehingga hanya membutuhkan dua tukang yang ahli di bidang perkayuan dan bangunan, sedang tenaga pembantu, masyarakat secara bergantian melakukannya. Setiap hari diatur sepuluh orang yang bekerja, sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama berhasil diselesaikan.
Pada acara peresmian TPA, seluruh warga masyarakat menghadiri acara yang dibentuk pengajian, dengan mengundang Kiai Rahmat yang tersohor kemana-mana.
“Pembangunan TPA ini berhasil dengan baik seperti yang kita inginkan berkat bantuan mertua Ustad Jefri yang menyumbangkan uang sebesar 150 juta rupiah. Maka sebagai warga desa ini, kita mengucapkan jutaan terima kasih.” Sutikno membacakan sambutan ketua panitia, mertua Jefri merasa senang uangnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat, sedang Shalihah diliputi perasaan curiga. “Sebagai panitia pelaksana, kami mengucapkan terima kasih pada seluruh warga masyarakat desa yang bahu membahu siang malam guna menyelesaikan pembangunan tiga lokal kelas TPA ini. Bangunan ini menjadi wujud nyata, bahwa kalau bersatu padu, masalah apapun bisa diselesaikan,” lanjut Sutikno. Dia lantas mengakhiri pidatonya, dilanjtukan dengan acara ceramah agama.
“Al-Qur’an mengajarkan pada umatnya bahwa dalam membuat sebuah bangunan harus didasarkan pada sikap takwa. Takwa yang diwujudkan dalam sikap saling tolong menolong, sikap rendah hati, ikhlas dalam segala perbuatan, hanya mengharap ridho Allah. Apa yang saya saksikan hari ini merupakan perwujudan dari itu semua, maka saya yakin penduduk desa ini akan mendapatkan rahmat Allah.”
“Amien.....”
“Ini bisa menjadi proyek percontohan bagi desa yang lain. Mereka bisa mencontoh bagaimana desa ini membangun persatuan yang kokoh, kerja sama yang apik, dan membangun desa dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki. Saya bangga berada di tengah-tengah masyarakat yang budiman ini.” Masyarakat bertepuk tangan penuh rasa bangga. Kiai Rahmat melanjutkan ceramahnya selama satu jam. Selesai ceramah dilanjutkan dengan peresmian lembaga pendidikan TPA.
Peresmian dilaksanakan dengan menggunting pita, Kiai Rahmat yang diberi kesempatan, justru mengajak mertua Jefri yang menggunting. Mau tidak mau Hermawan menerimanya, ada sebentuk perasaan tak terlukiskan, ketika menggunting pita. Sebentuk perasaan yang halus, bagai setitik air di padang pasir yang gersang, melegakan sekali.
Sementara Shalihah menyusun berbagai peristiwa yang dialaminya, dia paham bahwa kemarahan Jefri selama ini adalah sandiwara, sikapnya yang menunjukkan tabiat buruk adalah kesengajaan, termasuk sumbangan yang diakui Sutikno. Apa hendak dikata, keputusan untuk menerima Sutikno telah diambilnya, di samping dia menyadari bahwa semua itu adalah bentuk penolakan halus Jefri.


Lima Belas
Putaran waktu berlangsung cepat, tahun berganti tahun. Ainun belum sembuh dari penyakit kegilaannya, Jefri dengan sabar menemani, sambil mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat. Bentuk pengabdian tulus yang menimbulkan simpati, rasa hormat dan kecintaan masyarakat padanya.
Waktu itu di desa sedang dilakukan penyaringan awal calon kepala desa pada periode mendatang.
“Kamu bisa mencalonkan diri, Ustad Jefri,” usul Sutikno.
“Ya, betul.”
“Saya tidak akan mampu menjadi kepala desa.”
“Siapa bilang? Kamu pintar, tulus mengembangkan TPA, dan orang yang paling disukai seluruh penduduk desa.”
“Itu bukan berarti, saya memiliki kemampuan yang memadai untuk memimpin desa ini.”
“Dalam masa sekarang, kemampuan tidak penting, paling penting banyak memiliki massa mendukung. Lihat pemimpin-pemimpin di sekeliling kita, banyak orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali, tapi diangkat untuk menjadi pemimpin. Ini menunjukkan faktor kemampuan adalah syarat nomor 27, syarat utama memperoleh dukungan yang kuat.”
“Cara berpikirmu berbeda denganku. Menurutku, harus orang terbaik yang menjadi pemimpin masyarakat, suka menolong sesama, memiliki kepedulian pada rakyat miskin, mampu menangani masalah dengan baik, dan cerdik membaca situasi. Orang yang memenuhi kriteria ini yang paling pantas dicalonkan jadi kepala desa.”
“Pokoknya kami mencalonkanmu sebagai calon Kades di desa ini.”
Meski tidak menunjukkan persetujuannya, isu bahwa Jefri mencalonkan diri mulai menyebar di desa. Banyak orang yang berdatangan memberikan dukungan, termasuk Marsam dan anak buahnya.
“Kudengar, kau akan mencalonkan diri menjadi Kades, Jefri?” tegur mertuanya. Mereka sedang berkunjung ke desa.
“Kata siapa?”
“Tidak usah ditutup-tutupi. Berapapun dana yang dibutuhkan untuk itu kami akan mendukungmu.”
“Papa tidak perlu mengeluarkan uang segala. Sampai sekarang saya belum mengiyakan tawaran masyarakat yang ingin mencalonkan saya.”
“Mengapa tidak diterima?”
“Banyak hal yang kupertimbangkan, terutama nasib Ainun pada masa mendatang. Tidak bisa kubayangkan, kalau aku menyibukkan diri menjadi kepala desa, nanti waktuku akan banyak tersita, sehingga aku bisa melalaikan tugasku untuk memulihkan istriku.”
“Sudah ada Nenek dan Surti yang bisa merawatnya.”
“Memang mereka bisa menangani, tapi tidak bisa menyembuhkan. Sebab Ainun bisa sembuh bila benar-benar menyadari bahwa diriku hadir utuh di hadapannya, itu memerlukan intensitas pertemuan dan pergaulan yang terus menerus agar berhasil.”
“Lima tahun lebih kau merawatnya, kupikir sudah waktunya bagimu untuk memikirkan masa depanmu sendiri,” Pradibta ikut menyambung. Dia kasihan sekali pada menantunya yang mengorbankan segalanya agar anaknya sembuh, sampai melupakan kepentingan diri sendiri.
“Ainun adalah masa depanku,” ungkapan yang tegas, membuat mereka semakin mengaguminya.
“Kamu pertimbangkan secara matang keputusan yang ingin diambil. Apapun itu, kami mendukungmu.” Jefri melangkah menuju kamar istrinya yang asyik menyulam kain. Dia duduk di hadapannya, Ainun tetap asyik menyulam tak mempedulikan kehadirannya.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak peristiwa silih berganti dialami. Sampai saat ini dia bersikukuh untuk berusaha menyembuhkan kekasihnya. Kadang rasa putus asa hadir. Ketika melihat bahwa tanda-tanda kesembuhan belum juga datang, dia menyesal kenapa tidak menerima cinta Shalihah yang kini sudah menjadi istri Sutikno. Seandainya menerima Shalihah dulu, mungkin dia menikmati kebahagian dalam kehidupan rumah tangga yang hakiki bersama Shalihah, bergurau dengan anaknya, tidak hidup dalam fatamorgana.
Hidup yang dijalani seperti fatamorgana, semakin dikejar tujuan yang diinginkan semakin menjauh. Dia mengerahkan segenap daya upaya agar istrinya sembuh seperti sedia kala, namun semua upaya yang dilakukan seperti buih di atas lautan. Tidak mengandung makna sama sekali.
Jika memikirkan diri sendiri seperti gaya berpikir Barat, Jefri harus mampu memanfaatkan setiap peluang untuk kepentingan diri. Namun dia merasa ada di Timur, kenapa harus meniru Barat? Dia hidup dalam bumi Indonesia yang mana nilai-nilai agama di junjung tinggi, meski oleh sebagian besar masyarakat dilakukan secara simbolis, apalagi dirinya hidup di desa; nilai-nilai agama yang dibalut berbagai tradisi, yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan nilai-nilai Barat. Untuk menjadi manusia Indonesia yang utuh, dia harus mampu mengambil nilai-nilai Barat yang terbaik agar bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat desa. Pemikiran dan imajinasi boleh menoleh ke Barat, namun hati tetap berbijak di bumi Indonesia, itulah yang harus dilakukan.
“Gdbuk!” Mangga jatuh tidak jauh dari Jefri, dia tersadar dari lamunan panjang. Imajinasi adalah ruang kebebasan sejati manusia yang bisa meneropong, menjelejah, mengelilingi dan berputar dalam berbagai ruang dan waktu; masa lalu, masa kini masa depan, dunia kehidupan sehari-hari, dunia maya, planet, akhirat, surga dan neraka, bisa dicerna dengan imajinasi.
Jefri menatap istrinya, yang ditatap tidak mempedulikan. Keputusan apa yang hendak diambil? Menerima pencalonan Kades atau berusaha menyembuhkan istrinya dari kegilaan, dua pilihan yang sulit.
“Bagaimana keputusan Ustad Jefri?” Masyarakat berkumpul di Mushalla menuntut kejelasan sikapnya, Jefri kebingungan.
“Kami mendukungmu,” ujar seseorang.
“Ya, betul,” sahut yang lain, mereka menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas.
“Boleh aku bertanya?” Jefri mulai berbicara.
“Tentu boleh,” jawab mereka serempak.
“Apakah selama ini bantuan pemerintah yang berupa pembagian beras dolog dengan harga murah kalian terima secara utuh?”
“Ya, kami terima.”
“Tapi tidak gratis, kami harus membayar Rp. 1000,-,” celetuk seseorang.
“Meskipun saya yang menjadi kepala desa, kalian tetap membeli dengan harga Rp. 1000,-. Sama saja tidak ada perbedaan kalau menjadi kepala desa atau tidak.”
“Berbeda dong, mungkin lebih banyak di antara kami yang menerima.”
“Isunya, beras yang sampai sudah dipotong sana sini. Dipotong BPD, kepala desa dan aparat desa lainnya.”
“Itu sekedar isu. Isu seperti kentut tanpa suara, baunya sangat menyengat tidak ketahuan yang kentut.”
“Sudahlah! Paling penting sampai ke kalian. Pertanyaan kedua, apa kalian ditarik iuran yang macam-macam dari kepala desa?”
“Ada iuran Agustusan.”
“Hanya setahun sekali, tidak masalah. Pertanyaan ketiga, apakah kalian diperlakukan secara adil oleh kepala desa dulu?”
“Kami tidak memahami makna keadilan.”
“Ya, keadilan hanya bunga tidur.”
“Benaaar!”
“Maksudku dengan adil adalah kepedulian kepala desa pada fakir miskin, yatim piatu dan orang-orang yang tidak mampu, bukan peduli pada orang-orang kaya dan pemilik sawah hektaran. Inilah makna keadilan bagi warga desa.”
“Kalau itu sih, dia memang adil.”
“Dengan mempertimbangkan jawaban-jawaban Bapak sekalian tadi. Maka dengan ketetapan hati yang bulat, kuputuskan untuk tidak mencalonkan diri menjadi kepala desa.” Orang-orang yang hadir menggerutu, suara saling memberikan komentar membuat suasana agak gaduh.
“Hadirin dimohon tenang,” suara gaduh masih tetap. “Sekali lagi saya mohon untuk tenang. Dengarkan dulu penjelasanku.” Mereka mulai tenang kembali.
“Dengan menerima pencalonan saya menjadi kepala desa, banyak orang-orang dari kelompok kepala desa yang menjadi lawan saya dalam pemilihan kades nanti, akan tidak menyukai saya. Mereka mungkin membenci saya karena calonnya tidak terpilih. Padahal seperti yang kalian ketahui, saya mengajar anak-anak mereka di TPA.”
“Alasan kedua, tugas membina TPA yang semakin berkembang di desa ini, sehingga muridnya banyak yang datang dari desa sebelah, amatlah banyak dan berat. Dengan menjadi kepala desa, mungkin aku akan melalaikan tugas di TPA ini. Sesuatu yang tidak kalian inginkan bukan?” Jefri diam sejenak, mereka nampak tercenung memperhatikan dengan seksama.
“Istriku belum sembuh dari kegilaan. Dia bisa sembuh jika aku dianggap nyata dihadapannya. Ini membutuhkan perhatian yang besar, yang tidak bisa dilakukan kalau terpilih sebagai kepala desa. Di samping itu, berdasarkan jawaban-jawaban dari pertanyaan saya tadi, kalian sebenarnya telah memiliki calon yang benar-benar terbaik bagi desa ini. Untuk apa pencalonan saya jika ada yang mengisi dan terbukti melakukan yang terbaik bagi masyarakat. Kalian bisa menerima alasanku?” Mereka saling berbisik antara satu dengan lainnya.
“Ustad Jefri telah memutuskan pilihannya, aku mendukungnya. Itu demi kebaikan desa tercinta kita.” Marsam berdiri.
“Aku juga,” Sutikno ikut berdiri.
“Kami semua menerima keputusanmu,” semua yang hadir ikut berdiri.
“Kau adalah tokoh yang hakiki. Tokoh sejati bagi rakyat,” celetuk seseorang. Pertemuan bubar, mereka pulang ke rumah masing-masing, dengan perasaan yang bercampur aduk. Satu yang pasti, mereka semakin mencintai tokoh mudanya itu.
Dengan tidak masuknya Jefri sebagai calon kepala desa membuat porsaingan antar calon berimbang. Tiga orang calon yakni Karyo, Satam dan Suparjo, berusaha mempengaruhi Jefri yang dianggap tokoh berpengaruh agar menjadi pelopor mereka. Namun Jefri menolak dengan memilih sikap netral. Dia tidak akan memihak salah satu kelompok.
“Aku tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana,” alasan itulah yang disampaikan. Dia ingin menjembatani berbagai kelompok yang ada, tanpa harus terlibat di salah satu kelompok, sehingga bisa menjadi orang yang benar-benar di posisi netral. Sehingga dalam memberikan nasihat, pemecahan masalah, dan kebenaran terbebas dari berbagai kepentingan.
Ketegangan mulai terasa menjelang hari pemilihan. Masing-masing pelopor yang ditunjuk telah bergerilya untuk mendapatkan dukungan. Sehari sebelum pemilihan, Karyo yang dikabarkan didukung para penjudi kelas kakap diunggulkan dari calon lainnya.
Pada waktu pemilihan suasana benar-benar menegangkan. Warga masyarakat yang berdatangan dari berbagai penjuru desa, ramai-ramai memberikan suaranya. Jefri yang bertindak selaku panitia pemilihan berupaya sekuat tenaga agar berlangsung fair, sehingga calon yang terbaik bakal menang.
“Kelapa, Pisang, Nangka, Pisang, Pisang, Nangka, Kelapa.” Simbol masing-masing calon disebut. Kelopa simbol yang dipilih Satam, Pisang simbol Karyo dan Nangka simbol dari Suparjo.
Keringat dari Jefri bercucuran, sinar matahari yang terik dan hembusan angin yang pelan, menjadikan suasan gerah. Jefri yang berada di tengah ruangan balai desa, tentu kepanasan.
Pertengahan pemilihan, seperti yang diduga sebelumnya, Pisang mengungguli yang lain. Karya tersenyum bangga, dua orang calon lain berwajah masam. Para pemilih yang hadir sekita 1500 orang, suara yang masuk 1459 orang, yang tidak hadir banyak yang berhalangan.
Pada akhir perhitungan suara, tanpa diduga suara Nangka mulai mendominasi. Entah siapa yang mengkoordinir, kalau Nangka yang disebut, suara orang-orang yang hadir nampak gegap gempita. Sedang jika Pisang disebut terdengar suara, “Adaaah!”
“Alhamdulillahi robbil ‘alamien. Nangka meraih 559, Pisang, 550 suara dan Kelapa meraih 350 suara.”
Suparjo bergembira, rakyat bergembira, demikian juga Jefri.
“Hadirin dimohon tenang,” Jefri segera meraih mikrofon. Dia harus melakukan sesuatu agar tidak ada yang merasa dikecewakan. Orang-orang yang mengangkat tubuh Suparjo, menurunkan kembali, Karyo dan Satam yang hendak meninggalkan balai desa, duduk di tempat semula. “Hari ini dalam pemilihan yang demokratis, kita telah memiliki kepala desa yakni Bapak Suparjo.”
“Hidup bapak Suparjo....”
“Mohon tenang sejenak,” suara yang mengeluk-elukan Suparjo berhenti. “Paling penting bukan hasil yang diperoleh. Inti pemilihan yang demokratis adalah apabila segala proses yang dijalankan secara adil, fair, dan memberi peluang yang sama pada ketiga calon. Berhubung proses yang dijalankan selama ini berlangsung baik, maka kita sebagai warga desa patut merasa bangga, dan bisa menerima hal ini dengan lapang dada.”
“Bapak Karyo dan Satam sebagai calon kades patut kita acungi jempol dengan sikap ksatria. Mereka berdua insya Allah bisa menerima hasil ini dengan lapang dada. Hidup Bapak Karyo!”
“Hiduuup!”
“Hidup Bapak Satam.”
“Hiduuup!” Suparjo berjabatan tangan dengan mereka berdua, disambut senyum keterpaksaan.
“Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Semua adalah pemenang dalam upaya membangun desa tercinta ini pada masa mendatang. Betul apa betul?”
“Betuuuul!”
“Sebagai penghormatan, saya persilahkan Bapak Karyo dan disambung dengan Bapak Satam untuk memberikan sepatah dua patah kata. Kepada mereka dihaturkan.”
“Saya sebenarnya kecewa dengan hasil pemilihan ini,” Karyo memulai sambutannya. “Berhubung seperti yang dikatakan panitia segala sesuatu dijalankan sebagaimana mestinya, saya menerima hasil ini.”
“Hidup Bapak Karyo,” sambut hadirin.
“Saya bangga pada desa kita yang telah berhasil melakukan pemilihan secara demokratis. Semoga hasil ini membawa kebaikan pada desa tercinta ini, yang kita bangun bersama-sama. Walau kalah, saya akan membantu kepala desa terpilih dalam menjalankan programnya,” ujar Satam.
“Hidup Bapak Satam.”
“Komentar yang benar-benar membanggakan. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah pada mereka berdua,” warga desa yang hadir bertepuk tangan semua. “Sekarang sambutan dari kepala desa terpelih, pada Bapak Suparjo dipersilahkan.”
“Aku berulangkali mengucapkan syukur pada Allah, bukan hanya karena terpilih menjadi kepala desa ini untuk kedua kalinya, lebih dari itu, melihat apa yang terjadi hari ini adalah suatu rahmat yang tak terhingga. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, adalah ungkapan yang tepat, karena semua menjadi pemenang, pemenang yang akan bahu membahu untuk membangun desa ini. Maka untuk itu, saya memutuskan untuk tidak diarak pulang layaknya seorang kepala desa terpilih pada tahun-tahun sebelumnya. Saya ingin orang-orang yang hadir di sini pulang ke rumah masing-masing dengan tertib, jika ingin menikmati hidangan sekedarnya silahkan mampir ke rumah saya. Saya juga mengundang tiga sahabat Bapak Karyo, Bapak Satam dan Mas Jefri. Demikian, kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
Warga desa pulang ke rumah masing-masing dengan tenang seperti yang diminta kepala desa terpilih. Tidak ada suara hiruk pikuk kemenangan. Mereka saling bercakap-cakap peristiwa pemilihan yang unik di desanya pada hari itu. Suatu proses dan akhir yang menyenangkan semua pihak.
Berakhirnya pemilihan kepala desa, membuat Jefri menjalankan kegiatan sehari-hari secara normal. Fokus utama dari langkah-langkah yang diambil pada masa mendatang adalah berusaha sekuat tenanga, berpikir lebih jernih tentang langkah yang tepat, mengatur imajinasi dalam satu tujuan dan menyatukan hati, sehingga harapan kesembuhan Ainun tidak lagi menjadi fatamorgana.






Enam belas
Dengan setia Jefri menemani istrinya yang belum sembuh dari kegilaannya. Segala macam cara dilakukan agar istrinya sembuh. Kadang-kadang rasa putus asa timbul, begitu timbul berusaha dihilangkan dengan menyibukkan diri. Bila rasa bosan menghinggapi, dia ganti dengan menikmati kebersamaan mengajar anak-anak mengaji. Saat merasa stress, dia menatap hamparan sawah, desir angin yang membelai, dan menikmati panorama alam yang indah.
Ainun belum menyadari kehadiran Jefri, sebagai syarat kesembuhan. Itulah nasihat dokter dulu. Dia tiada henti berpikir, berimajinasi, dan bertindak, agar istrinya bisa sembuh total. Sampai suatu hari, Wati menelepon.
“Sorry, Yan! Baru sekarang aku menelponmu, habis baru tahu nomor teleponmu, dari mertuamu. Ada perkembangan?”
“Sedikit.”
“Bagaimana keadaan Ainun?”
“Sama seperti dulu.”
“Apa ada tanda-tanda kesembuhannya?”
“Entahlah!” penuh rasa pesimis.
“Coba kau ingat-ingat, kenangan apa yang paling kuat saat kalian bersama?”
“Kenangan apa, ya?” Berpikir keras, sampai lekukan di dahinya tampak.
“Hallo! Kau masih disitu, Jef!”
“Ya! Aku masih berpikir keras untuk mengingatnya. Seingatku hanya kenangan ulang tahun itu. Kami pernah mencobanya, tidak berhasil. Bahkan dia mengamuk.”
“Apa saja yang kau lakukan waktu itu?”
“Kedua orang tuanya menyiapkan kue ulang tahun, dan kuletakkan di hadapannya. Dia mengamuk.”
“Mengapa tidak kita coba hadirkan secara utuh?”
“Maksudmu?”
“Kita rancang adegan yang membangkitkan kenangan yang paling melekat pada dirinya. Menurutku kenangan itu adalah sewaktu kau menembak dia dengan kata Bagaimana. Kau masih ingat, bukan?”
“Mana mungkin aku melupakannya?” Dia merasa senang mengingat kejadian yang tak terlupakan seumur hidup. “Ini memerlukan kehadiranmu.”
“Aku akan ke sana.”
“Terima kasih banyak. Kapan kau ke sini?”
“Tiga hari lagi. Tunggu, ya?” Seperti yang dijanjikan tiga hari kemudian Wati muncul. Dia ditempatkan di ruang tamu. Sebelum apa yang direncanakan dilaksanakan, Wati perlu dikenalkan pada Ainun.
Wati memasuki kamar sahabatnya. Dia melihat Ainun bermain bekel, dia berusaha mendekat. Ainun mendongakkan kepala, dia kaget melihat orang asing di hadapannya.
“Pergi!”
“Aku Wati sahabatmu.”
“Kau asing bagiku. Pergi!”
“Tidakkah kau mengingatku?”
“Pergiiii!” sambil melemparkan bola bekel. Wati bergegas melangkah keluar dari kamar, Jefri ganti masuk. Ainun berhenti melempar. Jefri mengambil bola dan mengumpulkan biji-biji bekel. Dia bermain di hadapannya, Ainun merasa senang.
Keesokan hari dicoba lagi, cuman Wati lebih berhati-hati. Dia memperhatikan cara Jefri bergaul dengannya di dekat pintu. Sesekali mata Ainun menatapnya, tapi keasyikan bermain dengan Jefri membuatnya lupa kehadirannnya. Sehingga perlahan-lahan dia mulai mendekat.
“Orang asing ....” Terasa perih hati Wati mendengar kata-kata itu dari seorang sahabat yang pernah dekat dengannya.
“Ainun itu temanmu,” Jefri memperkenalkan.
“Orang asing ....”
“Aku adalah sahabat sejatimu,” ketika dekat Wati ikut bicara.
“Aku hidup dalam kesendirian. Hari-hari kulalui dengan sunyi bersama hembusan angin, suara keheningan malam dan kesunyian. Temanku adalah keheningan. Sahabatku adalah ketertutupan. Duniaku adalah keterasingan. Hidupku adalah pancaran sisi lain manusia yang tersembunyi di alam bawah sadar.”
“Maafkan kesibukanmu selama ini sehingga tidak pernah menjengukmu,” walau tidak mengerti yang dikatakan, dia berusaha berkomunikasi.
“He he he!” Ainun tertawa nyaring sekali. Wati tidak tahan melihat semua itu, dia lari keluar. Tiada beberapa lama kemudia Jefri menyusul.
“Biasa itu, Wati,” hibur Jefri pada Wati yang menangis sesungukan.
“Keadaannya tidak berubah seperti dulu.”
“Di bilang sama ya tidak sama, di bilang tidak sama ya sama.’
“Aku tidak paham yang kau katakan.”
“Dibilang sama, dia tetap gila, bertindak semaunya, berbicara apa yang ada di benaknya, dan mengikuti alam bawah sadarnya dalam melakukan suatu hal. Dibilang tidak sama, aku, Nenek dan salah seorang pembantu bisa bergaul dengannya lewat proses lama, dia juga terbiasa berjalan di luar rumah.”
“Kau hebat sekali, tabah menjalani semua ini.”
“Karena aku mencoba masuk ke dunianya sebagai orang lain ketika bergaul dengannya. Awalnya aku terpaksa mengikuti kegilaannya; tertawa, menangis, bermain bekel, menyulam kain, menari, menyanyi sembarangan, berteriak, dan duduk terpaku. Namun ketika menikmati semua itu sebagai sebuah permainan hidup, aku malah menikmatinya. Aku merasa bisa berubah menjadi orang lain saat bersamanya, menjadi seseorang yang menikmati kebebasan, menikmati kesenangan bermain, dan menikmati bergerak menurut apa yang ada di benak, bukan mengikuti kehendak kenyataan, keinginan, nafsu atau alam sadar. Hidup dalam alam bawah sadar ternyata menyenangkan juga.”
“Berarti harus mengikuti kegilaannya untuk bisa bersamanya.”
“Tepat. Hitung-hitung kembali ke masa kecil.”
“Aku mengerti sekarang.” Saat mencoba keesokan harinya, Wati mengikuti sikap gila sahabatnya. Dia bernyanyi, Wati ikut bernyanyi, dia tertawa ikut tertawa. Sehingga kehadirannya bisa diterima di sisi sahabatnya. Barulah dia merasakan sendiri apa yang dirasakan Jefri, menikmati kegilaan dalam kegilaan.
Hari Minggu penuh mendebarkan datang juga, semua hal telah diatur sedemikian rupa. Semua kenangan masa lalu yang tak pernah terlupakan mencoba dihadirkan. Pagi itu Jefri tidak kemana-mana, dia menemani Ainun, berjalan-jalan, bermain bekel, dan menyulam kain. Pada setiap kesempatan dia selalu mengatakan, “Aku Jefri!” Ainun hanya tersenyum, kadang tertawa nyaring, kadang bersedih, dan tidak peduli. Jarum jam menunjukkan pukul 14.00. Momen-momen masa lalu semakin dekat.
Jefri menatap Ainun, dia asyik menyulam kain, dia ingin menghadirkan peristiwa yang tak terlupakan beberapa tahun lalu.
“Bagaimana?” dengan suara nyaring, tidak ada reaksi dari Ainun dia tetap menyulam kain. Jefri mengulanginya, tetap tidak ada reaksi. Ketika Ainun meletakkan hasil sulamannya, dia segera meraih tangannya, sambil menatap kedua matanya lekat-lekat. Ainun balas menatap.
“Ba...gai...ma...na?” dengan suara gemetar, Ainun seperti mencerna kata-kata itu, dia tertegun. Pada saat itu Wati memasuki kamar mereka. “Aku punya teman seorang gadis yang sangat cantik sekali.”
“Siapa?”
“Ada deh pokoknya.”
“Wow, aku penasaran ingin mengenalnya.”
“Dia sangat cantik sekali; memiliki lesung pipit, tinggi semampai, dan body aduhai,” Ainun diam terpaku, seakan-akan mendengarkan percakapan mereka.
“Aku memang telah lama tidak berhubungan dengan seorang gadis, apalagi gadis yang luar biasa seperti perkataanmu itu.”
“Kujamin kau akan benar-benar terpesona padanya. Kecantikannya tidak bisa dibandingkan dengan wanita manapun di dunia ini.”
“Benarkah?”
“Sungguh! Ainun tidak ada apa-apanya dibandingkan dia.” Entah apa yang terjadi, Ainun seperti terpancing dengan kata-kata itu, degup jantung bergerak cepat. Tapi mulut tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Kau membual barangkali.”
“Tidak aku berkata jujur. Apalah artinya seorang Ainun. Dia tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Benar-benar cantik luar biasa.” Ainun menatap Wati.
“Cepat panggil!”
“Tunggu sebentar!” Wati keluar, diam di ruangan tamu bersama seluruh anggota keluarga.
Suasana di kamar hening. Mereka saling tatap, sama-sama terdiam. Hampir satu jam berlalu, saat-saat genting semakin dekat. Jefri mengangkat mukanya.
“Ba…gai…ma…na?” Jefri gemetar, benar-benar gemetar.
“Bagimana?” Dia mengulang kata-katanya, setenang mungkin. Ainun merasa tertarik kata-kata itu. Kedua mata menatapnya lekat-lekat. Bayang-bayang berkelebat cepat tak dapat dihentikan, segala peristiwa muncul di hadapannya. Dia kebingungan sekali. Kemunculan mendadak seluruh bayangan, membuatnya linglung. Jefri menggenggam erat tangannya, memberikan semangat untuk mengingat segala peristiwa, khususnya mengingat kejadian yang tak terlupakan di antara mereka.
“Bagaimana?” Kata-kata itu berputar cepat dalam imajinasi, terbang tinggi, bertarung dengan berbagai macam kata dalam alam nirsadar. Kata-kata bergantian muncul, menyerang, dan membelenggu. Namun di antara berjuta kata, hanya kata bagiamana yang begitu kuat. Menyerang imajinasi, menusuk hati, menyelimuti perasaan, dan menguasai pikiran. Kini keseluruhan dirinya dipenuhi kata-kata bagaimana. Kata-kata yang begitu kuat menyatu dalam jiwa.
“Bagaimana?” Jefri mengulanginya untuk yang kesekian kali. Suasana hening sejenak, Ainun kebingungan. Dia memegang kepala dan meremas rambutnya, ingin menumpahkan sesuatu yang tidak bisa keluar dari mulutnya.
“Ba…gai…ma..na?” Tanpa sadar keluar kata-kata itu dari mulut Ainun. Jefri gembira, semua yang di ruang tamu turut gembira.
“Pokoknya bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” Suara Ainun meninggi, mendadak sosok Jefri nampak jelas di pelupuk mata, benar-benar nyata, dia memandangi tanpa berkedip. Ya, di depannya benar-benar Jefri, yang menjadi belahan jiwanya, menyatu dalam hati, dan menguasai seluruh perasaan.
“Bagaimana, sayang?” Jefri mengenggam erat tangannya, untuk mempertebal keyakinan yang mulai muncul.
“Jef...ri!”
“Ucapkan sekali lagi,” sambil mengguncang tubuhnya.
“Jefri,” dengan suara tegas. Ainun perlahan-lahan mulai mengingat segala peristiwa.
“Benar! Akulah Jefrimu, sayang.” Jefri memeluk erat. Mereka larut dalam pelukan yang tidak ingin dilepaskan.
“Apa maksudmu dengan kata-kata bagaimana?” Pancingnya, walau dalam hati dia memahami makna kata tersebut bersamaan dengan hadirnya kembali ingatan yang hilang.
“Itu tidak penting.”
“Happy Birthday to you, happy berthday to you, happy berthday to youuu!” mereka muncul bersamaan. Sambil menyanyi butiran air mata membasahi pipi.
Ainun melepaskan pelukan, dia menatap orang-orang yang hadir di sekitarnya satu persatu. “Kalian sejak kapan datang kemari?”
“Sejak tadi,” jawab mereka bersama-sama.
“Berarti kalian mendengarkan semua percakapan kami. Kalian jahat!” Serunya manja.
“Kejahatan yang membahagiakan,” Wati yang menyahut langsung pergi memeluknya. Mereka semua memeluknya bergantian dengan berlinang air mata. Sedang Ainun kebingungan. Dalam kebingungan dia mulai menyadari semuanya, menyadari kehadiran Jefri kekasihnya, Wati, kedua orang tua, dan neneknya.
“Kenapa kalian menangis?”
“Ini tangis gembira,” sahut mamanya.
“Gembira kok nangis, kalian membuatku bingung.”
“Ha ha ha!” Mereka tertawa semua.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya setra mulia, serta mulia!” Ainun meniup lilin bersama kekasihnya, Lilin mati semua. Jefri menciumnya tidak lagi di kening, tapi di bibirnya. Ainun benar-benar menikmatinya. Sedang yang lain nampak menahan senyum, melihat ciuman bergelora yang berlangsung lama.
“Huk huk huk!” Mereka batuk-batuk, keduanya sadar. Ainun menyembunyikan kepala di dada kekasihnya.
“Saatnya membagi-bagikan kue sayang,” dengan raut wajah memerah, dia mulai memotong kue ulang tahun. Membagikannya pada orang terkasih dulu, baru pada nenek, kedua orang tua, dan sahabatnya.
Kabar kesembuhan Ainun menyebar dengan cepat di tengah-tengah masyarakat, orang-orang berdatangan memberikan ucapan selamat sambil membawa barang yang bermacam-macam, ada yang membawa beras, gula, kelapa, pisang, dan timun. Apa yang diperoleh dari masyarakat diolah untuk disajikan pada mereka kembali.
Menerima kedatangan mereka, membuat Ainun bertambah menyadari bahwa Jefri yang masih dianggap sebagai kekasihnya bukan suaminya, telah menjadi salah seorang tokoh masyarakat yang berpengaruh di desa. Dia mendengar banyak dari penduduk desa tentang jasa-jasanya pada mereka. Dia merasa bangga sekali.

Tujuh Belas
“Dulu perkawinan Ainun dan Jefri belum dianggap sah, sebab salah satu pihak dalam keadaan tidak sadar,” mereka sedang duduk santai di halaman rumah. Ainun istirahat di kamarnya, sedang Wati telah pulang ke rumahnya.
“Berarti orang gila dianggap bukan manusia, sehingga dikecualikan.”
“Bukan begitu. Kupikir maksud agama mensyaratkan kewarasan dalam perkawinan, agar dia menyadari kompleksitas lembaga perkawinan. Kalau salah satu pihak gila, itu berarti dia tidak menyadari adanya perkawinan, tentu tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya.”
“Hukum Islam terlalu diskriminatif. Kalau orang waras berhasrat mengawini yang tidak waras, biarkan saja. Justru itu merupakan bentuk dakwah yang luar biasa. Dengan mengawini orang tidak waras hakekatnya mereka melupakan perbedaan antara kewarasan dan ketidakwarasan.”
“Pendapatmu bertambah membingungkan.”
“Dalam zaman yang tidak menentu ini, hakekatnya perbedaan antara kewarasan dan ketidakwarasan sangat tipis sekali. Dalam zaman ini, orang malah lebih menghargai ketidakwarasan daripada kewarasan. Sebagai contoh film-film Hollywood yang menonjolkan karakter tokoh gila dalam bertingkah laku bukan kesadaran, justru menjadi film laris yang mendapatkan box office. Contoh lain, banyak penyanyi-penyanyi papan atas dunia yang menunjukkan prilaku yang gila, dengan kegilaannya membuat lagu-lagunya laku keras, seperti Eminem. Bahkan ajang MTV Award setiap tahun menjadi acara puncak kegilaan insan musik di dunia.”
“Aku tidak mengerti yang kau katakan.”
“Dengan mengakui ketidakmengertian, membuatmu mengerti. Perlu perenungan lebih lanjut.”
“Jangan-jangan kini kau yang jadi gila,” sambil tertawa ngakak, yang lain ikut tertawa.
“Biasa Pap, sarjana filsafat memang membingungkan.”
“Paling penting, aku ingin agar besok dilaksanakan pesta perkawinan sederhana di rumah nenek. Sehingga perkawinan antara anakku dengan Jefri secara resmi bisa dicatat di kantor KUA.”
“Jika ingin memperbarui status perkawinan kami, aku setuju saja.”
“Apa yang kalian bicarakan tidak mengajak-ajak?” Ainun muncul dari kamarnya, duduk di samping Jefri.
“Kami ingin agar pesta perkawinanmu dengan Jefri dilangsungkan secepatnya.”
“Mengapa terburu-buru?” Ainun tak mengerti.
“Anu..., karena Jefri ingin cepat menemui keluarganya yang telah lama ditinggalkan.”
“Jadi kak Jefri rela mengorbankan kehidupan bersama keluarganya demi diriku.”
“Begitulah.”
“Kita temui dulu keluarganya, baru melaksanakan pesta perkawinan. Jadi pesta yang dilaksnakan bisa menjadi sarana penyatuan kembali mas Jefri bersama orang tuanya. Bukankah lebih menyempurnakan?”
“Betul juga, ya. Kita secepatnya berangkat ke rumah Jefri agar segala sesuatu bisa diselesaikan dengan baik.”
Mereka pergi bersama ke rumah Jefri. Kedatangan mereka mengagetkan keluarganya. Lebih kaget lagi melihat Jefri berjalan tergesa kearah ibunya yang keluar duluan, dia memeluk ibunya erat, mengungkap segala kata maaf. Dia ingin bersujud di hadapan ibunya yang tampak kurus. Dia melakukan hal yang sama pada Bapaknya, dan saudara yang lain.
“Ainun kemari!” Dia mendekati mereka. Semua mata memandanginya penuh ketidakpercayaan. Melihatnya sembuh total dari kegilaan, sesuatu yang luar biasa.
“Maafkan aku!” Mereka berdua memeluknya.
“Kamilah yang harus minta maaf, tidak mengetahui bahwa niat tulus anak kami merupakan perwujudan kasih sayang Tuhan yang hadir dalam dirinya, untuk diberikan padamu, anakku.” Suasana haru berlangsung menyelimuti mereka semua.
“Begini, Pak. Kedatangan kami kemari ingin berembuk tentang pesta perkawinan Jefri dengan Ainun,” setelah suasana tenang kembali. Orang-orang desa yang berkerumun mulai pergi satu persatu, tingga keluarga mereka saja.
“Kami patuh atas segala keputusan yang diambil sampean.”
“Tidak bisa begitu. Sebagai perwujudan penyatuan keluarga kita secara utuh, maka keputusan mengenai hari pernikahan, rencana pesta dan lain-lain harus diputuskan bersama.”
“Kami telah melakukan kesalahan terhadap anak kami, untuk menebusnya kami tidak tahu harus berbuat apa. Jadi kami menyerahkan sepenuhnya keputusan pada Bapak, itu adalah keputusan bulat kami sebagai bahan penebusan, meski tidaklah cukup berarti.”
“Berarti kita laksanakan rencana pesta perkawinan di rumah keluarga Jefri beberapa hari mendatang, tergantung hari baik yang ditetapkan Kiai. Kalian setuju?”
“Tidak masalah.”
Seminggu kemudian pesta perkawinan di rumah Jefri dilangsungkan. Mereka semua larut dalam kebahagian. Kebahagiaan yang hadir melewati jalan berliku-liku, jurang yang dalam, dan tantangan tiada henti. Arti kebahagian yang dalam bisa diraih dengan melewati berbagai tantangan yang menghadang.
Apa yang dilakukan Jefri selama ini tidak berupaya mengejar kebahagian, dia ingin menjalani proses dalam kehidupan dengan melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain, tapi ketika tidak menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan, dia bisa menikmati kebahagiaan.
Mereka memutuskan untuk hidup di desa, tempat nenek Ainun tinggal, sambil membimbing masyarakat. Tidak harus hidup dalam gemerlap kehidupan kota untuk meraih kesenangan, ketentraman dan kedamaian. Hijaunya rumput, petakan-petakan sawah menghampar, pohon-pohon yang berjejeran, dan udara segar, lebih menawarkan kebahagiaan dari kehidupan di kota.
Inti kehidupan adalah mengisi putaran waktu dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi diri, masyarakat, bangsa dan dunia.

Bondowoso, 16 September 2004










SEKILAS TENTANG PENULIS

Penulis dengan nama Ahmad Zamhari Hasan, aktif membaca sejak SD, membaca kreatif dan menulis sejak kelas III pesantren Al-Amien Madura atau setingkat kelas III SMP/MTs. Garis nasib menaqdirkannya hanya kuliah sampai semester III STIDA yang kini berubah menjadi IDEA dan kuliah informal DII di Pesantren Tinggi Al-Amien, serta menjadi pedagang kecil di pasar tradisional Wonosari. Lebih banyak belajar otodidak tentang sastra; cerpen, novel, drama dan puisi, skenario, filsafat, Islam, Marketing dan politik, dengan menyisihkan sebagian uang hasil berdagang untuk membeli buku-buku yang bermacam-macam.
Ketika mondok di Pesantren Al-Amien mempelopori lahirnya SUASA (Suara Sastra Al-Amien) aktif menulis kolom, cerpen dan artikel, menjadi staf redaksi majalah Qolam, mempelopori penerbitan majalah Al-Hikam. Pengalaman hidupnya adalah Mengajar di Pondok Pesantren Al-Amein Madura dua tahun, Mengajar Bahasa Indonesia di pondok pesantren Ciburuy Bogor satu tahun setengah, Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Islam Pecalongan 3 bulan, Mengajar di TPA dan MQA Al-Azhar Wonosari 6 tahun.
Prestasi yang pernah dicapai adalah Juara baca tulis cerpen Se-Madura di Talang Sumenep, juara pertama karya tulis cerpen, ilmiah populer, dan artikel di Pesantren Al-Amien, dan tulisannya pernah dimuat di harian Surya saat berusia 22 tahun.
Karya tulis yang dihasilkan sampai sekarang adalah novel :Bagaimana? dua ontologi puisi; Menjangkau Tuhan, Aceh Tersenyum Bahagia, satu kumpulan cerpen; Setitik Harapan (17 judul dari 23 cerpen yang ditulis), Membuat Skenario film layar lebar : Bidadari Postmodern, skenario sinetron; Permainan Cinta, membuat kumpulan tulisan tentang Pembacaan Kreatif, dan buku; Cara Sukses Berdagang Secara Islami yang akan segera diterbitkan.
Ahmad Zamhari Hasan, Pengelola www.sampenulis.blogspot.com


Berhubung Kuliah Alternatif Online (KAO) dilakukan secara Gratis bagi siapa saja yang mau mengikutinya, maka perlu sumbangan dermawan ke No. Rekening 01081817202 Bank Muamalat cabang Jember atas nama SAMHORI.